Kamis, 14 Oktober 2010

Bahasa Ibu, Bahasa-Ku

Bahasa berfungsi untuk digunakan sebagai alat komunikasi, baik antar per orang maupun khayalak ramai secara lisan maupun tulisan. Bahasa di Indonesia terdiri atas tiga, diantaranya: bahasa daerah merupakan bahasa Ibu, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa, dan bahasa Internasional (Inggris) untuk komunikasi antar Negara.

Berbicara bahasa, tentunya tidak terlepas dari sejarah. Bila bahasa daerah berasal dari kebudayaan etnis yang timbul dari masyarakat sekitar. Bahasa persatuan Indonesia, lahir dari kongres Pemuda. Hasilnya kemudian dinamakan dengan Putusan Pemuda, kemudian berganti nama Sumpah Pemuda pada 1931 oleh Sultan Takdir Alihsjahbana. Sumpah Pemuda dalam naskah asli, berbunyi: “Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. (versi asli). Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.(versi ejaan yang disempurnakan),” Sedangkan bahasa Internasional (bahasa Inggris) merupakan bahasa yang timbul, karena Inggris pada perang dunia II memiliki jajahan paling luas di dunia.

Lalu bagaimana dengan penerimaan masyarakat, mengenai bahasa yang berbunyi “Berbahasa Satu Bahasa Indonesia” dalam Sumpah Pemuda? Mustakim (Kepala Bidang Pembinaan Bahasa dan Sastra, Pusat Bahasa Depdiknas) mengutarakan bagaimana kata tersebut dimasukkan dalam mata pelajaran, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang salah. Multamia (Fakultas Ilmu Budaya – Indonesia), TD. Asmadi (pemerhati bahasa di media massa) pun menyatakan ada proses sosialisasi Sumpah Pemuda yang berkembang di masyarakat.

Sosialisasi dan isi yang berubah dalam masyarakat, menyebabkan bahasa daerah menjadi tidak diakui. Bahasa di Indonesia, hanya ada bahasa Indonesia tanpa bahasa daerah. Walaupun dalam isi sebenarnya keberadaan bahasa daerah diakui keberadaanya dan perlu dilestarikan sebagai budaya. Bahasa Indonesia pun diputuskan sebagai bahasa pengantar pendidikan dari TK sampai Perguruan Tinggi. Maka, salah satu fungsi bahasa daerah menjadi hilang, terutama dalam pendidikan.

Kebijakan tersebut membuat semua anak Indonesia, harus bisa bahasa nasional. Sebagai bahasa untuk sekolah. Bila tidak bisa berbahasa Indonesia, maka tidak akan mempunyai kesempatan apapun dalam tataran nasional. Itu menjadi konsekuensinya. “Di satu sisi kita punya keinginan untuk melestarikan, menjaga kesinambungan eksistensi bahasa daerah, tetapi di sisi lain kita mengambil keputusan yang merebut posisi bahasa daerah,” tutur Multamia. Walaupun demikian peran bahasa, baru saja telah diatur dengan UU No.24 tahun 2009.

Bahasa Daerah, “Bahasa Prasasti”

Indonesia merupakan salah satu Negara, yang memiliki bahasa Ibu terbesar di dunia (12,36 persen). Bahkan bahasa jawa, masuk dalam dua puluh besar bahasa dunia. Dari data yang berkembang di masyarakat, ada lebih 742 bahasa di Indonesia. Parahnya kondisi bahasa di beberapa daerah tidak sebanding dengan jumlah penutur yang ada, dan ratusan bahasa terancam punah karena jumlah penutur yang kurang dari satu juta orang.

Pengklasifikasian bahasa pun dibedakan berdasarkan kondisi penuturnya, menjadi: potentially endangered languages (berpotensial punah, karena kencederungan anak muda sudah mulai tidak menggunakan bahasa ibu/daerah), endangered languages (tidak ada anak muda yang bisa berbahasa daerah. Hanya orang yang sudah tua yang menggunakan bahasa tersebut), seriously endangered languages (kondisi ini adalah dengan jumlah penutur berumur 60 tahun keatas, moribound languages (kondisi dengan jumlah penutur diatas usia 70 tahun, dan hanya digunakan kelompoknya), extinct languages (jumlah penutur hanya satu orang). (menurut Multamia).
Sedangkan menurut Mustakim, pengklasifikasian dibedakan menjadi; bahasa potensial yang jumlahnya diatas satu juta penutur. Menengah, sifatnya dalam kondisi berbahaya. Terakhir, kondisi bahasa daerah yang terancam punah.

Kesepakatan bahasa Indonesia sebagai bahasa pendidikan, oleh pemerintah tidak dapat disalahkan. Keberadaan tersebut dikarenakan Indonesia memiliki luas wilayah dan penduduk yang banyak. Sehingga dengan keberadaan bahasa yang banyak, tentunya tidak mungkin dimasukkan dalam pendidikan. Berapa pembiayaan yang dibutuhkan untuk menyediakan sekolah, buku pelajaran,dan guru untuk bahasa daerah, dengan jumlah penutur pun beragam.

Kondisi jumlah penutur dan bahasa yang tidak seimbang, mengakibatkan yang digunakan dalam pembelajaran hanya daerah dengan jumlah penutur diatas satu juta. Sebut saja Jawa, Sunda dan Bali. Bagaimana dengan bahasa lain? “ … Sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas dan diperkuat oleh UU No. 24 tahun 2009. ‘Bahasa daerah dapat digunakan sebagai pengantar dalam tahap awal pendidikan’,”tutur Mustakim. Tersirat tanggung jawab dan emban dalam menjaga bahasa daerah, salah satunya terdapat di pendidikan. Lalu bagaimana dengan sekolah yang berada di perbatasan? Mustakim mengutarakan sekolah harus mengembangkan bahasa di mana posisinya berada. Hal tersebut juga sebagai bentuk tanggung jawab dalam pemeliharaan budaya.
Pemerintah daerah juga berkewajiban menjaga bahasa. Termasuk menentukan bahasa daerah mayoritas, untuk dijadikan muatan lokal dalam pendidikan. Akhirnya anak Indonesia, akan memiliki karakter dan kaya akan budaya.

Usaha untuk memasukkan bahasa daerah pun dilakukan Pusat Bahasa, dengan memasukkan istilah daerah dalam Kamus Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Selain itu diutarakan oleh TD. Asmadi, beberapa media juga berusaha mengenalkan bahasa daerah dalam terbitannya. Namun, usaha pengenalan bahasa yang paling utama, adalah keluarga dan sekolah.
Sejauh apa niat diri kita, keluarga dan sekolah dalam memajukan bahasa daerah? Semua akan kembali pada masing-masing individu dan kelompok. Selamat berproses…!!! (Agustinus)

Pentingkah Perpustakaan Sekolah?

Sebuah perpustakaan tentunya harus menyediakan informasi dan ide secara fungsional, dan berbasis pada pengetahuan dan informasi. Tidak terlepas perpustakaan sekolah. Misi perpustakaan tersendiri, adalah menciptakan perpustakaan efektif dalam berbagai format dan media. Serta berhubungan dengan jaringan perpustakaan dan informasi yang lebih luas sesuai dengan manifesto Perpustakaan Umum yang dikeluarkan oleh UNESCO.

Dalam American Library Association (ALA)-1989, menyimpulkan: “Information literate people are those who have learned how to learn. They know how to learn because they know how knowledge is organized, how to find information ,and how to use information in such a way that others can learn for them. They are people prepared for lifelong learning, because they can always find the information needed for any task or decision at hand.” (Buku Literasi Informasi: Pengantar untuk Perpustakaan Sekolah)

Laporan ALA tersebut menekankan pentingnya informasi dalam proses belajar, meniti karier, melakukan bisnis, dan menjalani hidup sebagai warga negara. Selain itu ditunjukkan pula bagaimana literasi informasi berjalan selaras dengan reformasi pendidikan, yang bertujuan untuk peningkatan mutu pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai pendidikan menengah atas. Namun bagaimana realita perpustakaan di sekolah?

Mungkin perlu kelegaan dan pengakuan, bahwa belum semua sekolah di Indonesia memiliki perpustakaan yang memadai. Terlebih untuk melaksanakan program keberinformasian. Bahkan menurut data perpustakaan nasional RI tahun 2007, mengenai ketersediaan perpustakaan di SD menurut propinsi. DI Yogyakarta memiliki perpustakaan tertinggi (Kabupaten Kotawaringin Barat (91,57%)). Di sisi lain presentase terendah adalah Maluku Utara (Kabupaten Halmahera Selatan (0,40%)), dan DKI Jakarta sebagai Ibu Kota berada di urutan ketiga dibawah Jawa Tengah.

Sumber Daya Manusia
Berbicara perpustakaan tentu tidak saja ‘melulu’ mengenai prasarana dan sarana, tetapi juga harus melihat dari sumber daya manusia yang dimiliki. Kembali berbicara data perpustakaan nasional RI, menyatakan Sekolah Dasar (SD) Negeri DKI Jakarta tidak satupun memiliki petugas berpendidikan formal dalam bidang perpustakaan. Bahkan pada tingkatan SMP Negeri, pengelola/pustakawanan tidak memiliki kemampuan dan keterampilan dan pengetahuan dalam mengelola perpustakaan. Karena tugas dan fungsi perpustakaan tidak hanya sebagai tempat peminjaman/’rental’ buku.

Dari hal tersebut, tentunya diharapkan kesadaran akan perlunya tenaga pustakawan untuk mengelola perpustakaan. Sehingga pada sasarannya akhirnya siswa/i, akan menjadi lebih kritis dan kreatif dalam menyikapi problem ilmu pengetahuan. Perpustakaan juga menjadi literasi yang mendukung proses pembelajaran dalam kurikulum. Dari hal tersebut, perlukah perpustakaan ada di sekolah kita? Seberapa pentingkah ada perpustakaan sekolah? Bila ada, apakah fungsi dari perpustakaan tersebut? Sebagai pusat peminjaman buku dan aksesoris semata, atau penunjang dari proses pembelajaran? Jangan-jangan guru dan sekolah, mengalami ‘insomnia’ siswa/i lebih kreatif dan kritis (karena pengetahuan lebih dari membaca)? Ehm... saatnya berefleksi bersama.

BUKU VERSUS TEKNOLOGI

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) kembali dirayakan setiap bulan Mei, sebagai bentuk pemeringatan akan lahirnya sang tokoh, Ki Hadjar Dewantara. Beberapa pengamatan yang dilakukan oleh lembaga sosial masyarakat bidang pendidikan, maupun lembaga resmi pendidikan seperti Universitas. Banyak yang menyoroti kondisi memprihatinkan dari sekolah di luar kota besar. Jarak tempuh bersekolah yang terlalu besar, guru yang mengajar hanya sewaktu-waktu (bahkan tanpa kompetensi dalam menjadi pendidik) sampai dengan ketersingkiran informasi dari dunia luar (salah satu hal yang paling jelas adalah akses dalam mendapatkan buku pelajaran).

Buku merupakan salah akses utama dan mendasar dalam pembelajaran. Penulis melihat sangat banyak pemerhati pendidikan, yang menyesali permasalahan buku masih terus berlanjut. Beberapa masyarakat perkotaan, memanfaatkan kesulitan dalam memperoleh informasi dengan menggunakan akses teknologi. Perkembangan teknologi informasi berkembang pesat, salah satu situs yang paling banyak digunakan adalah google.

Penerimaan Informasi Melalui Teknologi
Perkembangan teknologi dalam pendidikan turut digunakan dalam penggunaan jardiknas (jaringan pendidikan nasional). Jardiknas digunakan salah satunya untuk menyebarkan buku elektronik (e-book). Bagaimana aplikasi penggunaan jardiknas dalam kehidupan sehari-hari, terutama praktek di lapangan oleh para pendidik? Apakah hal tersebut sudah bersifat solusi?

Permasalahan buku sebagai ilmu pengetahuan, ternyata tidak hanya berhenti sampai proses tersebut. Karena permasalahan dalam pemerintahan yang terjadi dalam buku pelajaran, buku tidak bisa dimanfaatkan terus menerus berkelanjutan untuk adik-adik kelas. Sehingga dari tahun per tahun pengeluaran untuk buku dari orang tua untuk anaknya terus menerus terjadi, bahkan jumlah dalam nominal terus meningkat.

Beberapa praktisi pendidikan mengatakan, peran buku tidak dapat digantikan dengan teknologi. Seperti salah satu slogan dalam World Book Day (WBD) Indonesia :”BANYAK HAL YANG NGGAK BISA DICARI MELALUI GOOGLE. BACA BUKU DONG.” Dengan menggunakan buku, seseorang akan merasa dengan mudah untuk mempelajari dan saling mendiskusikannya. Terlebih penggunaan akses buku lebih bisa diterima dikalangan masyarakat Indonesia. Mungkin dikarenakan kondisi Indonesia yang terdiri atas negara kepulauan, dan daya tangkap masyarakat yang butuh perhatian pada pendidikan.

Catat saja dalam pemilu legislatif lalu, walaupun dengan menggunakan biaya besar, tenaga ahli dan penyediaan fasilitas komputer. Proses input yang terjadi pada tabulasi nasional sangat lama, bahkan mengalami banyak kendala. Dalam satu kasus lain di daerah pedalaman di daerah Jawa Barat, ketika kelurahan mendapat program komputerisasi. Fenomena yang ada dari staf kelurahan tersebut, belum bisa menggunakan teknologi tersebut. Hal tersebut membuktikan secara sederhana belum ketersiapan penggunaan teknologi di beberapa daerah.

Bagaimana sebaiknya menyiasati kebutuhan buku di Indonesia? Apakah kembali dengan teknologi? Dari teknologi tersebut, apakah hasilnya harus dicetak dan diprint untuk disebar luaskan? Lalu, apa perbedaan dengan buku? Hal tersebut merupakan tugas pengembanan negara dalam menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Selamat berproses...!!!

Mampukah Guru Lebih Berkualitas dan Menjadi Pilihan Profesi?

Sejenak apa yang terlintas dalam pemikiran tentang profesi guru? Bagaimana karakter yang harus dimiliki seorang guru? Bagaimana kesejahteraan guru di Indonesia saat ini? Mengapa guru selalu menjadi second opinion dari pemilihan profesi? Siapa sebenarnya guru, sebagai pencipta ilmuwan, professional muda atau hanya menghasilkan pegawai biasa saja?

Beberapa pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan mendasar, sebagai pemilihan profesi guru. Guru merupakan pendidik atau pengajar yang memiliki tanggung jawab dalam segi moril. Bahkan tanggung jawab guru termasuk sebagai pengemban dari UUD 1945 dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam sejarahnya guru dan sistem pendidikan Indonesia, pernah menggapai masa keemasannya. Negeri tempat asal minyak Petronas, sempat belajar di Indonesia. Bedanya saat ini Petronas mampu menjadi perusahaan minyak dalam 5 besar dunia, sedangkan Pertamina tidak masuk dalam peringkat tersebut. Ada apa dengan hasil lulusan atau SDM Indonesia?

Sertifikasi Guru Mampukah Menjadi Penyeleksian Kualitas

Kebijakan pendidikan nasional yang saat ini sedang ramai diperbincangkan salah satunya adalah sertifikasi guru. Terlepas dari penyimpangan dari segi praktek dan hal negatif lainnya. Dilihat dari segi kebijakannya, hal ini merupakan hal positif dari Bambang Sudibyo. Dengan tujuan sebagai upaya peningkatan mutu pendidik, pada akhirnya berimpas pada para pendidik di Indonesia.

Problematik selama ini, pemerintah hanya memfokuskan pada peningkatan dan kemandirian suatu sekolah/universitas. Atau, pada raihan peserta olimpiade yang secara khusus dilatih agar mampu menghasilkan medali. Seandainya saja semua sekolah di Indonesia, guru yang ada merupakan pencetak kualitas terbaik. Mungkin dalam 20 tahun mendatang, negeri ini akan diisi oleh kualitas unggul terbaik.

Guru berkualitas lambat laun tidak dapat ditawar lagi. Pengusahaan sertifikasi guru untuk peningkatan mutu pendidik, kadang tidak dibarengi usaha yang dilakukan. Seringkali untuk peningkatan kompetensi, asal saja mengikuti seminar asalkan mendapat sertifikat. Dalam sebuah seminar kelayakannya kadang juga patut dipertanyakan, terlebih dengan pengumpulan seminar tentunya hal tersebut bukan merupakan inti. Sasaran peningkatan mutu pendidik, seperti pendidik mampu penggunaan teknologi berbasis Information Communication Technology (ICT), penggunaan multimedia dalam mengajar, ataupun hal lain yang menjadi keunggulan guru. Tentunya agar guru dan siswa mampu menjadi kreatif dan handal.

Bila tahap peningkatan kualitas dengan sertifikasi guru hampir selesai dijalankan,sempat tertimbul dalam benak pemikiran. Beranikah pemerintah menyeleksi secara ketat guru berkualitas? Walaupun secara gambaran nyata, masih banyak guru yang mengajar lebih dari satu bidang studi. Malah dengan ironisnya hal tersebut bukan merupakan keunggulan dari guru pendidik tersebut. Bagaimana dengan anak didiknya? Mungkin saatnya dicari pemecahannya! Bila guru berkualitas diperhatikan dengan kesejahteraan baik. Ayo unjuk diri,siapa yang mau jadi guru?

CERITA KLASIK UNTUK MASA DEPAN

Ujian Nasional (UN) akan dihadapi beberapa siswa yang sudah memasuki kelas jenjang akhir akhir untuk masuk dalam tingkat lebih tinggi. Bagi sebagian besar siswa UN, merupakan salah satu momok yang dianggap menakutkan. Bahkan mempengaruhi efek psikologis siswa. Sampai – sampai karena momok menakutkan dalam UN, beberapa anak harus rela belajar mati-matian agar bisa lulus. Atau, lebih parah lagi semakin banyak penjualan ijazah palsu agar bisa menghindar dari UN dan langsung lulus. Tapi berapa orang yang mampu dalam hal tersebut?

Bagaimana dengan sekolah? Berkaitan dengan UN, sisi positif yang bisa diambil. Sekolah akan berusaha bagaimana menghasilkan kualitas terbaik siswa. Minimal agar siswa dapat lulus dari UN. Bagaimana caranya agar bisa meningkatkan kualitas dari siswa? Salah satu caranya adalah dengan terus mengajak para siswa untuk mengerjakan soal atau bahan ujian. Cara tersebutlah yang dianggap beberapa kalangan pendidikan, menyalahi dari proses pendidikan yang ada. Sehingga otomatis proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan beberapa sekolah pada tingkatan terakhir menanti UN, hanya soal, soal dan soal.

Mungkin terbesit dalam pemikiran. UN bagi siswa sekolah dari tahun ke tahun sampai saat ini masih menjadi permasalahan tersendiri bagi dunia pendidikan di Indonesia. Padahal kenyataannya UN tetap dilaksanakan per tiap tahunnya. Sebut saja penetapan mata pelajaran yang diujikan, nilai standar kelulusan, sampai-sampai risiko dengan jumlah siswa yang tidak lulus.

Bila semakin banyak orang yang tidak lulus. Siapa yang patut disalahkan dalam hal tersebut? Orang tua, sekolah, guru atau pemerintah pusat. Padahal secara gamblang jelas bahwa kualitas pendidikan di kota dan beberapa daerah sangat jauh. Bahkan tidak usah berbicara antara kota dan desa. Di jakarta pun keberadaan sekolah beraneka ragam, termasuk dari kualitas. Ada yang tertinggi sampai kualitas terendah,bahkan dari bangunan ber AC sampai yang hampir roboh.

Kilas balik UN

Menengok kembali sejarah UN. Beberapa sistem sempat mewarnai pola baku sistem ujian akhir untuk siswa. Sebut saja dari berbagai sumber yang didapat tahun 1950-1960 disebut dengan ujian penghabisan,ujain berbentuk esai tersebut dikoordinir langsung oleh pemerintah pusat hasilnya diperiksa di pusat rayon. 1965-1971 dikenal dengan nama Ujian Negara, 1972-1979 sekolah diberi kebebasan dalam soal ujian negara dengan pedoman yang ada. 1980-2001, mulai diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk: Ebtanas untuk mata pelajaran pokok, sedangkan EBTA untuk mata pelajaran non-Ebtanas. 2003 dikenal istilah UAN siswa dinyatakan lulus jika memiliki nilai minimal 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-ratanya minimal 6. Beberapa tahun terkahir ditetapkan dengan sistem UN dengan penentuan batas minimal dan nilai terendah.

Dari hal tersebut terlihat bahwa pola baku sistem ujian akhir untuk siswa seringkali berubah seiring dengan pergantian pejabat atau periodik pemerintahan. UN memang memiliki nilai postif dan negatif. Lalu bagaimana seharusnya? Siapa yang harus berperan? UN sebagai sebuah kisah klasik yang terus diperbincangkan, tetapi juga untuk menentukan masa depan.

Tidak Hanya Sekedar Nasi Putih

Pendidikan dasar gratis bagi masyarakat, kerap kali ditemui dalam layananan masyarakat di media cetak maupun elektronik. Meskipun pendidikan gratis tersebut baru ditujukan kepada siswa/i Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Setidaknya hal ini patut mendapat apresiasi lebih. Bahkan menurut beberapa lembaga, Jakarta mempunyai porsi lebih besar berdasarkan jumlah untuk peningkatan pendidikan.

Di sisi lain pendidikan yang dijanjikan gratis tersebut, (dari pengakuan beberapa orang tua),masih ada pemungutan biaya yang diperlukan untuk pendidikan anaknya. Di luar seorang anak tentunya ditambahkan oleh penuturan Ade Irawan. Seorang anak tentunya membutuhkan beberapa hal dalam bersekolah. Sebut saja pakaian sekolah, buku pelajaran (yang tiap tahun harus berganti), Lembar Kerja Siswa (LKS), sampai dengan uang saku siswa.

Pertanyaan dari beberapa pihak adalah, menu gratis seperti apakah yang disajikan dalam sajian gratis makanan utama anak-anak Indonesia. Bila disimak dalam layanan masyarakat yang disajikan, tertera pendidikan gratis tersebut berlaku untuk sekolah negeri, dan bukan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) ataupun Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Bila pemberlakuan gratis tersebut tidak diberlakukan kepada semua sekolah. maka terkesan pendidikan gratis yang diberikan hanyalah menu sederhana. Apakah menu sederhana tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan anak-anak Negara, dalam peningkatan kualitasnya?

Lalu menu seperti apa yang disajikan dalam pendidikan gratis? Hanya berupa nasi putih dan sayur, ataukah sudah memenuhi 4 sehat 5 sempurna? Bila berupa nasi dan sayur tersebut, mampukah seorang anak bersaing dengan seorang anak dari luar yang sudah lengkap dengan menu utama sampai dengan steak yang tersedia dan siap untuk disantap. Pertanyaan dan tantangan tersebut tentunya harus mampu dijawab. Penjawaban wajib belajar sembilan ataupun dua belas tahun dibeberapa daerah dengan pendidikan gratis. Sudah mampukah menjawab kebutuhan masyarakat yang ada? Tentunya dengan perkembangan perubahan jaman terus menerus yang berkembang pesat.
Memberikan Daging untuk Kebutuhan

Meningkatkan kebutuhan yang semula hanya berupa nasi, akan timbul keinginan menambahkan potongan daging dalam menu utama tersebut. Bagaimana caranya? Hal tersebut merupakan tanggung jawab dan kepedulian bersama yang harus diemban. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan, atau masyarakat yang harus memberikan daging untuk kebutuhan anak bangsa?

Kesadaran tersebut tentunya harus diamini bersama. Bila semua Negara menetapkan pendidikan gratis, tentunya porsi akan berbeda satu dengan yang lain. Terlebih Indonesia memilih kelebihan, karena kita masih diberikan nasi sebagai makanan pokok (bila Negara lain makan kentang). Mari jadikan Indonesia Negara berpendidikan yang baik, dan tentunya menjadikan Jakarta sebagai barometer pendidikan Nasional.

Kemana Kaki Harus Melangkah?

Memilih sekolah, ternyata tidak semudah yang dipikirkan. Mungkin persentasenya sama sulit ketika dengan menentukan Presiden untuk Negara ini. Perbedaanya bila presiden untuk masa depan bangsa, sedangkan pendidikan untuk masa depan diri sendiri. Perbedaanya bila pemilhan Presiden hanya dihadapkan pada beberapa plihan saja, sedangkan dalam memilih sekolah jumlahnya sangat banyak. Bahkan dalam satu daerah bisa mencapai angka ratusan.
Terlebih saat ini sekolah dikategorikan menjadi beberapa. Sebut saja Sekolah Standar Nasional (SSN), Nasional Plus, dan juga berstandarkan Internasional. Pertanyaan mendasar, apakah dengan harga dan fasilitas menjamin sekolah ideal? Bila iya apakah sesuai dengan kebutuhan anak? Apakah juga sesuai dengan ‘kocek’ yang dimiliki pula oleh orang tua? Banyak orangtua rela membayar mahal agar anaknya memperoleh pendidikan terbaik. Tapi, tak ada salahnya tetap memperhitungkan apakah biaya yang Anda keluarkan akan sesuai dengan apa yang didapat anak bila bersekolah di tempat tersebut. Uang sekolah yang tinggi, misalnya, tentu rasanya tak sepadan bila fasilitas pendidikan di sekolah tersebut ternyata kurang memadai,atau pengajar yang sama sekali tidak profesional. Walaupun kesemua hal tersebut, orang tua memiliki andil besar, terlebih segi beban moril untuk memikirkan masa depan anak.

Bila anak saat usia semakin rendah, maka anak perlu pengawasan orang tua. Tetapi bila dalam tahapan SMP dan SMA/SMK, anak hendaknya diajak untuk berdiskusi sekolah dan minat yang akan menentukan kedepannya seperti apa yang mereka pilih. Dari hal sederhana tersebut, anak menjadi dilibatkan. Walaupun keputusan anak tidak harus 100% dituruti oleh orang tua. Tentunya dengan penjelasan yang memadai. Anak biasanya memilih sekolah tertentu dengan alasan, karena banyak teman sepermainannya bersekolah di tempat tersebut, ataupun ‘gebetan’ yang bersekolah di tempat tersebut. Dari segi orang tua, jangan sampai kita dihadapkan memilih pendidikan anak karena prestise atau gengsi semata. Beberapa hal tersebut, harus ‘dienyahkan’ dari pemikiran. Kita harus ingat, memilih sekolah untuk masa depan. Bukan dilihat dari lama dirinya belajar disana, tetapi pada proses input yang diterima, dan hasil yang akan dicapai anak tersebut.

Memilih suatu sekolah juga didasarkan pada, apa yang akan kita cari dalam sekolah tersebut? Kata ‘bagus’, ‘ideal’ ataupun ‘terbaik’ itu relatif. Dari kacamata mana atau malah dari kacamata siapa kita memandang sekolah tersebut ideal? Bila sudah dapat menentukan pilihan. Sesuaikah biaya kebutuhan sekolah dengan dana yang dimiliki. Walaupun mahal atau tidaknya pendidikan anak, bergantung pada prioritas mana yang lebih didahulukan? Setelah pemilihan sekolah dalam tahap ini selesai, kemanakah anak tersebut akan melanjutkan pendidikan? Sesuaikan pendidikan anak saat ini, yang akan ditempuh dengan target pendidikan atau cita-cita kedepan? SELAMAT BERPROSES…

PEMERATAAN PENDIDIKAN SOLUSI SEGALA BIDANG

Pendidikan, siapa yang tidak membutuhkannya? Pendidikan menjadi kebutuhan terpenting dalam hidup bermasyarakat. Setiap orang tua berusaha menyekolahkan anak mereka kedalam pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan melebihi pendidikan orang tuanya.

Dari fenomena tersebut, tidak mengherankan seorang anak harus bersekolah di tempat yang jauh dari tempat tinggal. Terasa kebanggaan dari seorang anak yang bersekolah bila mampu bersekolah di tempat yang menjadi favoritnya. Status dan martabat seseorang pun dapat terangkat dengan bersekolah di tempat yang berkualitas baik. Orang tua yang memilih sekolah tertentu, dikarenakan beberapa hal. Sebut saja lulusan yang mampu meraih prestasi tertinggi dalam karier (masa depan), akreditas, fasilitas, biaya, dan lokasi.

Namun, karena sekolah favorit hanya terdapat di daerah tertentu. Bahkan, jauh dari tempat tinggal. Mengakibatkan siswa/i harus berangkat menggunakan kendaraan, baik kendaraan pribadi dengan sedikit presentase (karena belum mempunyai Surat Ijin Mengemudi (SIM)), dihantar oleh orang tua melalui kendaraan dengan presentase yang cukup banyak, ataupun menggunakan kendaraan umum dengan presentase lebih banyak lagi.

Hal tersebut dianggap oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota DKI Jakarta, sebagai permasalahan baru. Sehingga apa yang dilakukan oleh Pemda DKI, dalam menghadapi permasalahan tersebut? Pembagian jam berangkat dan pulang, termasuk juga yang diterapkan oleh pelajar dianggap solusi tepat.

Sungguh ironis, disatu sisi alasan pemajuan jam sekolah dijadikan alasan untuk meningkatkan kualitas sekolah. Terlalu sulit untuk dihitung dengan logika, oleh kacamata orang awam.

Sempat terpikir dalam benak pikiran. Apakah tidak ada pemecahan jalan lain? Kenapa tidak dicoba untuk memecah pemusatan siswa/i berkumpul di satu sekolah? Atau, dilakukan dengan usaha agar siswa/i mau bersekolah di tempat yang lebih dekat dengan tempat tinggal? Tentunya kualitas yang sama baik, mampu secara finansial, dan fasilitas yang baik pula membuat siswa/i tidak ragu untuk pergi ke sekolah dekat tempat tinggal. Lebih tepatnya PEMERATAAN PENDIDIKAN.

Terlebih Jakarta sebagai Ibukota seharusnya dijadikan barometer bagi daerah-daerah lain di Negeri Indonesia. Bila karena bangun pagi anak sekolah akan terganggu secara psikologis sehingga secara tidak langsung menurunkan kualitas. Atau, catatan lain karena sekolah yang unggul dan favorit hanya terdapat di daerah tertentu? Apakah Jakarta patut dihargai sebagai barometer bila terlihat dengan jelas tidak ada pemerataan pendidikan? Jangan-jangan potret sekolah yang hampir rubuh, atau kesulitan dalam mengapai prestasi lebih tinggi oleh seorang anak, yang dibicarakan di berbagai media di beberapa daerah terjadi di Ibukota ini. Ehm ... semoga hal tersebut tidak terjadi. Mungkin saatnya berpikir ’tuk pemerataan pendidikan !!!

Balada Anak di Negeri Dongeng

Tersediakah Kemerdekaan Bagi Anak?

Anak merupakan generasi baru, tinggal bagaimana menciptakannya. Dalam mewujudkan hal tersebut, anak memiliki kewajiban dan juga hak dalam memperoleh kemerdekaan lebih. Baik dalam pendidikan maupun kreatifitas. Kemerdekaan sendiri merupakan sesuatu yang didambakan bagi siapapun, termasuk anak. Kemerdekaan yang diminta seorang anak sangatlah sederhana. Anak hanya meminta kebebasan, tentunya dengan perhatian penuh dari orang tua ataupun orang yang lebiih dituakan.
Akan tetapi, apakah kemerdekaan tersebut sudah diperoleh anak secara penuh? Maraknya trafficking, ekploitasi, buta aksara, sampai dengan kesulitan untuk memperoleh pendidikan dan hiburan yang bermutu menjadi problematik bagi anak. Realita menyedihkan bagi masyarakat, apalagi Indonesia secara jelas menyatakan melalui pembukaan UUD 1945 adanya tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa.
Menjadi Kenyataan atau Sekedar Dongeng

Beberapa waktu lalu penulis sempat mengamati indahnya permainan anak. Bila anak dalam masyarakat tertentu cenderung bersikap pasif dalam kreatifitas, terlebih dengan penyajian permainan yang segala instan. Berbeda dengan kelompok anak tertentu di daerah pedalaman dengan kesulitan memperoleh akses dari dunia luar. Tayangan laskar pelangi tidak hanya terdapat dalam tayangan film. Tetapi menjadi kenyataan, bagaimana indahnya anak bermain perosotan dengan menggunakan pelepah pisang. Ataupun bagaimana keriangan kelompok anak dengan bamboo. Insiatif dari bahan sederhana membuat anak lebih berpikir kritis dan banyak nilai positif yang tentunya diperoleh.

Bagaimana dengan hiburan yang sering dinikmati oleh anak? Hiburan yang sering kali dinikmati adalah televisi. Tidak hanya menjadi salah satu kesenangan, pemerolehan informasi, tetapi televisi secara sadar maupun tidak sadar merupakan sarana proses pembelajaran dari segala aspek. Tidak heran pemerintah secara khusus memiliki lembaga independen dalam mengamati tayangan televisi maupun film yang tampil di bioskop. Apakah tayangan yang ada sudah cocok bagi keperluan anak? Atau apakah masih ada tayangan yang baik untuk dinikmati anak?

Memprihatinkan memang kondisi dari hiburan sederhana dan murah yang hampir dimiliki setiap rumah. Disatu sisi penampilan ataupun ajakan dalam sebuah tayangan kadang menipu masyarakat. Ketika dari penampilan awal menarik untuk ditonton anak-anak, tetapi di dalam isi cerita banyak adegan berbahaya bahkan “syur” di dalamnya. Sebaliknya bila beberapa tayangan positif untuk anak. Namun disayangkan kutipan iklan ataupun selipan produk berbahaya bagi kepentingan dan pendewasaan anak secara tersendiri. Dari kenyataan tersebut, masih adakah kebebasan anak dalam hal sederhana memperoleh informasi? Apakah kemerdekaan anak dapat diperoleh dalam kehidupan sehari-hari atau hanya sekedar menjadi cerita dongeng?

Katakan Indonesia, Bukan ‘Indon’

Seorang anak tentunya tidak dapat dilahirkan, dalam kondisi proses memilih. Apakah dirinya akan menjadi anak dengan orang tua yang mapan, ataukah dirinya harus membantu kehidupan keluarga di tengah kehidupan ekonomi yang serba sulit. Termasuk juga membantu orang tua mencari makan, di Negara orang. Ketika dalam beranjak proses sebagai seorang anak, tentunya kaidah dalam diri, moral dan kebangsaan menjadi tugas utama. Bagaimana rasa nasionalis guru, orang tua dalam mengajarkan anak memupuk kebangsaan tersebut? Apakah dalam perjalanannya kebangsaan tersebut, telah terpupuk dalam jiwa anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI)?
Unari,Spd. merupakan salah satu guru yang diperbantukan sebagai pengajar untuk anak-anak TKI. Unari menyatakan walaupun dalam peraturan sebenarnya, anak tidak diperbolehkan mengikuti orang tuanya yang sedang bekerja menjadi TKI. Desakan ekonomi yang melanda dan tidak merata, akhirnya membuat mereka harus mengajak keluarga mereka untuk berada di Negara tetangga, Malaysia. Oleh karena itu muncul kebijakan dari pemerintah Indonesia dan Malaysia melalui lembaga sosial masyarakat HUMANA, yang mengurus proses pendidikan tersebut. Hal tersebut disatu sisi bertujuan untuk menjamin pendidikan warga Negara untuk memperoleh hal mendasar dalam pendidikan, yang sebagaimana telah diatur Undang-Undang Dasar 1945.
Nasionalisme Terbendung Realitas
“Mengajarkan rasa nasionalisme terhadap masyarakat Indonesia diluar, sangat jauh lebih sulit dibandingkan di Negara sendiri. Dimulai dari anggapan orang luar yang merendahkan Indonesia, dengan sebutan ‘Indon’, dan juga beberapa kenyataan di lapangan yang tidak terlalu merasakan perhatian penuh pemerintah pusat. Terlebih dengan keberadaan ekonomi yang terbelakang. Bila dilihat secara data 36 ribu anak TKI berada di Sabah – Malaysia,” kata Unari.
Ketidakseriusan dan berkurangnya rasa nasionalisme dari anak bangsa, juga berkaitan dengan kurangnya perhatian pendidikan, perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi. Program yang dilakukan terkesan asal jadi dan tidak jelas keberlanjutannya. Aktivitas belajar anak TKI pun terkesan sekedarnya. Kelas dan ruang yang tersedia pun, hanya yang disediakan dari LSM di Malaysia. Belum lagi pelanggaran dan terkesan bisnis semata yang dilakukan LSM tersebut.
Anak-anak tersebut pun digambarkan oleh Unari, bagaimana harus membantu mengambil kelapa sawit. Bahkan dalam potret yang diberikan, secara jelas luka yang terpampang dalam tangan anak-anak TKI tersebut. Bagaimana nasionalisme terbentuk, dengan realitas tersebut?
Upacara di Dalam Kelas
Dalam proses pembelajaran, Unari menjelaskan kepada GOCARA bahwa semua kurikulum yang ada mengikuti Malaysia. Namun, ada satu bidang materi ajar yang ditambahkan, yaitu kajian tempatan. “Kajian tempatnya meliputi pelajaran yang diajarkan di Indonesia, misalkan Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, IPS, termasuk Agama di dalamnya. Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan salah satunya diajarkan pencitraan terhadap bangsa Indonesia. Kesulitan yang ada sangat jauh dari nasionalisme, perlu waktu yang cukup lama untuk mengembalikan kecintaan dan rasa tersebut. Itu juga yang dialami oleh para orang tua disana,” tambah Unari.
Selain kondisi masyarakat TKI disana, hal yang mengakibatkan kurangnya rasa nasionalisme, adalah memandang rendah yang dilakukan Malaysia terhadap Indonesia, termasuk menyebutkan Indonesia dengan sebutan ‘Indon’, dan memandang masyarakat Indonesia tidak ada apa-apanya. Dari hal tersebut akhirnya menular pada masyarakat Indonesia, termasuk anak-anak. “Sehingga untuk masuk kedalam anak-anak dan masyarakat Indonesia, sangat susah sekali. Karena mereka sudah terdogma selama beberapa puluh tahun,” tutur Unari.
Sebagai seorang guru, tentunya ada metode yang disampaikan untuk memupuk rasa nasionalisme. “Usaha yang kami lakukan, misal pada peristiwa atau peringatan besar. Kami guru-guru sudah mencoba menyampaikan baik dengan ceramah dari pengertian Indonesia, seperti: jangan menyebut kata ‘Indon’, tapi sebut dengan lengkap kata Indonesia. Untuk para siswa, kami juga melihatkan gambar peta besar yang mengambarkan keluasan dan kekayaan yang dimiliki Indonesia,” kata Unari, yang menjadi guru honorer di Malaysia dari tahun 2006 sampai dengan 2008. Dengan penjelasan tersebut, anak-anak cenderung sudah mulai berubah.
Dari acara 17 Agustus yang biasa diperingati oleh dengan upacara bendera bersama-sama di Indonesia, sebagai hari kemerdekaan. Sangat sulit untuk dilakukan di Malaysia. Sehingga perayaan kemerdekaan tanpa pengibaran bendera, menjadi pilihan alternatif. “Ada juga peristiwa lucu dan ironis yang terjadi. Pengibaran bendera terpaksa dilakukan di dalam kelas dengan menggunakan tiang setinggi dua meter yang langsung ditancapkan begitu saja. Merinding sekali pada saat proses saat tersebut,” tambah Unari yang ditugaskan 6 sekolah saat itu.
Unari mengharapkan proses kedepan dalam proses nasionalisme bangsa, terutama untuk masyarakat tertinggal tempat dirinya bertugas, ada perhatian tersendiri dan khusus. Perhatian tersebut tidak hanya diberikan pada anak dengan strata ekonomi menengah melainkan juga pada ekonomi sulit. Salah satu contoh bagaimana pemerintah Indonesia hanya membuat sekolah di daerah Sinabalu – Malaysia. Anak yang dapat mengakses pendidikan disana hanyalah menengah keatas. Terlebih jarak yang jauh dengan masyarakat yang dalam keadaan tertinggal. “Masyarakat yang di grassroot, saat ini sama sekali tidak tersentuh,” tambah Unari yang saat ini bertugas di daerah Kalimantan Barat dan masih menjadi calon PNS setelah beberapa lama ditugaskan. (Agustinus)

Rabu, 13 Oktober 2010

Kontrak Politik Pendidikan

Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu kebutuhan. Boleh dikatakan, pendidikan menjadi kebutuhan primer terpenting dari setiap dasar manusia. Hal tersebut seolah menjadi pembicaraan yang selalu berulang. Terlebih pada pemilu 2009. Beberapa partai seolah mengagungkan kenaikan anggaran pendidikan 20%. Walaupun bila menilik kebelakang, program tersebut sudah dicanangkan oleh pejabat legislatif beberapa tahun silam. Bahkan pelaksanaan 20% pendidikan, bukan sekedar untuk pembangunan pendidikan seutuhnya, tetapi hal-hal yang seharusnya diluar 20% menjadi bagian dari APBN tersebut.

Kenaikan anggaran pendidikan, ternyata tidak menguntungkan bagi masyarakat seutuhnya. Karena dalam isu yang berkembang di masyarakat, untuk mencapai anggaran pendidikan tersebut harus mengorbankan masyarakat sendiri. Salah satunya adalah dengan kenaikan pajak beberapa persen. Lalu bagaimana dengan gambaran pendidikan di Indonesia saat ini? Dari kalangan pemerhati pendidikan, beberapa kebijakan seolah menuai protes dari beberapa sisi. Dalam keadaan di lapangan, bisa dikatakan semakin banyak anak-anak yang harus mencari nafkah di jalanan. Secara jelas hal tersebut membahayakan mereka secara pribadi, dari tanggung jawab anak-anak tersebut merupakan usia sekolah yang harus mendapat pengajaran utuh dari sekolah, keluarga, maupun masyarakat.

Bahkan melihat sekolah rusak yang ada,sangat miris melihat fakta yang ada di sekitar kita. Pertanyaannya adalah bukan siapa yang bisa mencari sekolah dengan kondisi memprihatinkan? Tetapi, siapa yang tidak bisa mencari sekolah dengan kondisi memprihatinkan? Hal tersebut juga dijumpai di kota-kota besar.

Legislatif Baru, Permasalahan Baru atau Solusi Baru

Pergantian anggota legislatif tinggal menghitung hari, pemilihannya pun akan dilaksanakan pada 9 April 2009. Harapan dalam penciptaan solusi dari permasalahan dasar menjadi sesuatu yang diharapkan. Terlebih dunia pendidikan. Beberapa janji atau keadaan yang seolah menjadi nyata, dikumandangkan dalam kampanye partai politik.

Keberadaan dunia pendidikan, menjadi hal terpenting dalam dalam era kedepan. Oleh karena itu, beberapa lembaga pendidikan mulai mengadakan janji-janji atau lebih terkenal dengan sebutan Kontrak Politik Pendidikan (KPP). Tujuan dasar dalam sebuah kontrak tersebut, tidak lain tidak bukan adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Kualitas yang mana? Tentunya kualitas segenap bangsa, bukan hanya untuk segelintir orang yang mampu atau mempunyai keberadaan uang lebih.

KPP pada pelaksanaanya turut melibatkan banyak pihak di dalamnya, tidak hanya perseorangan. Tetapi tentunya juga melibatkan partai bersangkutan, dan juga koalisi partai atau fraksi yang dibangun setelah sebuah partai masuk dalam kompleks Senayan. Sehingga KPP menjadi pertanyaan mendasar dalam pembangunan pendidikan. Mampukah KPP tersebut menjadi jawaban dari janji mereka? Ataukah hanya sekedar menjadi angin lalu untuk memperbesar perolehan suara? Bagaimana dengan pemilih yang mempunyai hak memilih? Dibutuhkan tanggung jawab dari pemilih, agar pendidikan tidak hanya menjadi permasalahan klasik yang terus berkepanjangan.

PENTINGNYA PERPUSTAKAAN KELILING

Menjelajah dari satu tempat ke tempat lain untuk menyebarkan Ilmu Pengetahuan dengan menggunakan kendaraan sederhana. Keberadaanya mungkin dilupakan dengan kemegahan mall Ibukota, namun masih banyak diminati dan dicari orang banyak. Hal itulah yang tergambar ketika GOCARA mengunjungi perpustakaan keliling langsung ke tempat dimana mereka sedang bertugas di tempat sekolah didaerah tanjung duren, Jakarta Barat. Dengan mobil perpustakaan keliling Rusman Panjaitan melakukan tugasnya sehari-hari untuk membagikan ilmu yang ada dalam 600 buku yang dibawanya setiap kali melakukan perjalanan.

Rusman yang juga selaku koordinator perpustakaan keliling dan telah bertugas sejak tahun 1985 tersebut mengatakan, perpustakaan keliling merupakan salah satu sarana yang dibutuhkan oleh segala lapisan masyarakat. Terbukti dalam beberapa bulan akhir permintaan akan buku-buku dalam perpustakaan keliling sangat banyak. Sehingga dengan armada yang terbatas dengan jumlah 4 mobil di jakarta barat, perpustakaan keliling hanya mampu untuk ke tempat area yang sama dengan waktu 1 bulan sekali. Sasaran dari perpustakaan keliling diantaranya adalah ke sekolah yang tidak memiliki perpustakaan sendiri, rumah singgah, rumah kumuh, tempat anak-anak jalanan, kelurahan juga kecamatan yang sebelumnya telah terjadwal dan terdaftar di kantor perpustakaan umum. Buku yang dibawa dalam terdiri dari segala lapisan umur seperti buku TK,SD,SMP,SMU, Perguruan Tinggi, tabloid, majalah masak dan yang lainnya. Buku yang dibawa oleh perpustakaan keliling pun selalu berganti setiap bulannya kecuali ada pemesanan dari anggota pembaca perpustakaan keliling.

Kebutuhan dan minat akan ilmu pengetahuan terhadap buku terlebih pada sanggar atau tempat anak-anak jalanan sangatlah tinggi. Karena kebutuhan akan ilmu pengetahuan belum tentu dapat mereka wujudkan dengan membeli buku yang tersedia di toko buku di agen-ageN tepi jalan, pasar loak ataupun pada toko buku dengan ruangan ber-AC dan seperti suasana cafe. Hal itulah yang mendorong di samping alasan-alasan lain selalu ramainya perpustakaan keliling untuk diminati orang banyak.

Perpustakaan keliling memiliki jam operasional yaitu pada pukul 07.30 – 12.00 di satu lokasi dan 12.00 – 15.00 di lokasi yang berbeda. Hal tersebut menurut Rusman bergantung pada lokasi dimana perpustakaan keliling bertugas, bila di suatu sekolah ada sekolah pagi dan siang maka dari pukul 07.30 – 15.00 perpustakaan keliling harus menunggu sampai waktu yang ditentukan. Nomadennya perpustakaan keliling sehingga menyulitkan bagi pembaca atau peminat yang ingin membaca buku dari perpustakaan keliling. Sistem peminjaman dalam perpustakaan keliling, seorang calon anggota sebelumnya harus membawa KTP, kartu keluarga, juga pengisian formulir dari pihak perpustakaan keliling. Lalu calon anggota dapat meminjam setelah kartu anggota yang diminta telah selesai diurus. Kemudian anggota bisa meminjam, dan secara otomatis anggota juga terdaftar di perpustakaan umum tempat kantor wilayah perpustakaan keliling tersebut bertugas.

Dalam melakukan proses peminjaman, anggota tidak dipunggut biaya. Selain itu juga dapat melakukan aktifitas yang lainnya sama seperti ketika seorang anggota telah terdaftar dalam suatu perpustakaan. Hal tersebut juga berlaku jika seorang anggota melakukan peminjaman buku lalu telat dalam pengembaliannya. Anggota perpustakaan keliling diberikan waktu sampai dengan 3 kali secara periodik saat perpustakaan keliling mengunjungi tempat tersebut. Jika pada masa itu belum juga dikembalikan. Bila peminjaman dilakukan di sekolah maka pihak perpustakaan keliling akan meminta dari Kepala Sekolah yang bersangkutan. Bila dalam masyarakat sekitar yang meminjamnya, maka akan dicari melalui alamat yang terdaftar ataupun melalui teman yang biasa melihat buku dari perpustakaan keliling.

Perpustakaan keliling sekitar tahun ’80an , bila yang meminjam harus meninggalkan uang jaminan namun kebijakan tersebut telah dicabut oleh Gubernur yang menjabat pada saat itu. Seorang anggota juga dapat memesan buku yang pada saat itu tidak ada dalam perpustakaan keliling. Buku tersebut akan dibawa ketika perpustakaan keliling kembali lagi dalam periodik tertentu. Bila seorang anggota perlu meminjam buku secara cepat dan kebetulan mobil perpustakaan keliling masih beberapa minggu atau hari ke tempat lokasi yang sama maka anggota dapat meminjam di perpustakaan umum asalkan pengembalian dilakukan pada tempat anggota meminjam buku tersebut.

Timbul harapan dari peminat buku dimana mereka menikmatinya agar perpustakaan keliling tidak harus muter begitu lama sampai dengan waktu 1 bulan karena pentingnya ilmu. Dan buku harus terus menerus dikonsumsi untuk memperkaya ilmu pengetahuan yang ada. Agar kesetaraan informasi dapat dinikmati semua orang tanpa menunggu proses yang lama. Semoga terwujud dan informasi bisa didapatkan !!!
(AGS)

MATEMATIKA DENGAN ”MOMOK” MENYERAMKAN

”Nak, ini uang saku kamu dalam sehari. Setengahnya untuk makan, setengahnya untuk bayar uang kas kelas yah?” Ini adalah bentuk sederhana matematika dalam hal yang sederhana. Matematika merupakan sesuatu hal yang sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dalam kehidupan. Dimulai dari seorang anak belum bersekolah atau ikutan pergi berbelanja bersama orang tua, belajar berhitung dan mulai asyik mengerjakan soal suatu bakat dan talenta matematika akan keliatan secara sendirinya.Dari kehidupan masa kecil itulah seorang anak biasa diperkenalkan matematika oleh orang tua atau orang yang lebih dewasa dengan cara berhitung biasa, memakai sempoa, perkalian dengan menggunakan 2 tangan dengan jarinya untuk mendapatkan hasil dari perkalian diatas angka 5 dan dibawah angka 10, memakai turus dalam suatu penjumlahan, serta masih banyak cara lain dalam memperkenalkan matematika dasar yang nantinya akan lebih berkembang dan dikembangkan dalam segala bentuk.

Matematika selain berlaku dalam kehidupan sehari-hari, matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang manjadi pokok dalam kurikulum sekolah. Dalam evaluasi hasil belajar siswa, Matematika juga diujikan pada UAN yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk SD,SMP,STM,SMK dan SMU jurusan IPA. Selain itu Matematika di berbagai negara manapun memakai logika dan berlaku sama, berbeda dengan Ekonomi karena kebijakan ekonomi di berbagai negara berbeda-beda dengan kondisi yang ada dan hanya berlaku pada teori yang ada.

Matematika menurut Ibu Dra. Kumalasari Maria Emanuel sebagai salah satu guru yang mampu melahirkan juara olimpiade, nasional Matematika di SMUK 1 BPK Penabur dan pernah mengajar di SMU Sedes Sapintae di kota Semarang, matematika merupakan salah satu bentuk keseimbangan antara otak kiri dengan otak kanan. Karena matematika merupakan Logical Thinking yang membutuhkan kekreatifan seorang siswa dalam menangapi suatu soal dan kemampuan mengerjakan soal yang ada. Bukan sebagai pelarian atas murid yang tidak senang karena hafalan. Karena ada ungkapan siswa/i yang mengambil jurusan IPA adalah orang-orang yang tidak bisa atau malas untuk menghafal. Dalam perjalanan menapaki pendidikan dari TK sampai SMU/SMK/STM seorang siswa seharusnya bisa melihat dimana kemampuan dirinya, apakah dibidang seni, musik atau lebih mampu dalam menghafal sesuatu hal. Dari hal tersebut akan terlihat otak mana yang lebih berkembang dalam diri seorang anak. Siswa/i tidak bisa dipaksakan dalam memahami pelajaran matematika yang ada, siswa/i harus diajak untuk enjoy dalam mengerjakan suatu soal yang ada dalam bentuk studi kasus atau soal yang disajikan. Sehingga diharapkan adanya kreatifitas dalam memecahkan soal dari siswa sendiri, dan tidak harus baku dengan cara yang disajikan oleh guru pengajar. Karena dengan cara yang berbeda baik didapat dari siswa sendiri maupun cara lain seperti Guru les, siswa akan bisa terlihat lebih mudah mengerjakan soal.

Dilihat dari sudut pandang sebagai pengajar, Ibu Kumala mengatakan dalam matematika titik pengajar sebagai contoh untuk anak yang diajar sangatlah penting. Bagaimana seorang guru mampu mengajar dalam bentuk yang menyenangkan bagi siswa/i –nya? (dilihat tempat dan keadaan tempat mereka mengajar). Bagaimana Guru mampu menjadi motivator dan teladan bagi siswa/i baik dalam proses KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) maupun kegiatan diluar KBM. Serta mampu menghargai usaha dan jerih payah dari siswa/i dalam mengerjakan soal yang diberikan (Berapa langkah siswa/i mampu mengerjakan soal yang ada) dengan melihat cara menjawab yang dilakukan oleh siswa/i tersebut ataupun dengan cara membagikan hasil ulangan tepat waktu dengan membahasnya sehingga mampu menjadi proses evaluasi bersama hasil belajar siswa. Seringkali pengajar dalam hal ini Guru memvonis jawaban dengan mengatakan cara yang dilakukan siswa/i -nya salah karena tidak sesuai dengan cara yang ada dalam buku atau yang diberikan pada saat guru itu mengajar. Lalu mengatakan anak muridnya tidak mampu dalam mengerjakan matematika tersebut, sehingga hal tersebut mematikan usaha dari siswa/i tersebut padahal kreatifitas mereka atau cara singkat mereka dalam mengerjakan suatu soal sudah keluar. Vonis seperti ini sering diungkapkan oleh pengajar sehingga kadang mematikan kemampuan dari seorang siswa. Bagaimana bisa seorang anak tertarik dan bisa mengerjakan matematika bila selalu dikatakan demikian? Seorang pengajar bila memberikan soal biasanya dibuat dalam 3 tingkatan soal (Intermediated, Beginner, Advanced) untuk mengetahui sejauh mana kemampuan menjawab soal dari anak tersebut. Sehingga seorang Guru harus bisa memecahkan persoalan bagaimana siswa/i –nya mampu mengerti bagaimana memecahkan soal dan mereka merasa enjoy dengan mata pelajaran tersebut,termasuk uji coba dari beberapa soal yang ada.

Mengapa orang tertarik dengan Matematika, padahal matematika selalu identik dengan mata pelajaran yang selalu membuat pusing apalagi setelah ujian? Menurut Cyrilla alumnus mahasiwa UNPAD jurusan Matematika, Matematika merupakan pelajaran yang memakai logika dan bila kita sudah mengerti asal usul rumus kita akan dapat paham mengenai suatu logika. Ada juga pendapat dari Lia (Mahasiswa atmajaya angkatan 2003) dan Olivia (siswa SMU Sang Timur) yang berperinsip bahwa matematika merupakan ilmu pasti seperti pada soal yang hanya memiliki satu jawaban saja walaupun dengan beberapa cara. Mungkin itulah pendapat tentang Matematika, tanpa disadari dengan sendirinya. Mata pelajaran ini sangat sering diketemui dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam ketertarikan dengan mata pelajaran matematika, sekolah punya trik sendiri untuk meningkatkan kualitas pendidikan siswa/i – nya. Seperti di sekolah SMAK 1 BPK Penabur yang mampu melahirkan juara – juara tingkat Nasional, Asia Pasifik,maupun tingkat Dunia, punya trik tersendiri untuk meningkatkan kualitas siswa/i –nya seperti pada proses KBM seorang siswa akan dituntut kerajinannya dalam menjalankan tugas, maupun mengerjakan ulangan yang ada. Bahkan menurut Kepala Sekolah mata pelajaran MIPA dalam hal ini termasuk juga dengan mata pelajaran Matematika diajarkan dengan menggunakan bahasa Inggris dengan porsi 30%. Selain itu dengan fasilitas LCD di tiap kelas mereka menggunakan pendekatan mata pelajaran Matematika dengan visual yang ditampilkan pada tiap kelas. Selain itu mereka punya kegiatan ekstra kurikuler Science Club yang dikepalai langsung oleh Guru SMAK 1 BPK Penabur dan diikuti juga oleh sekolah yang berada di bawah Yayasan BPK Penabur yang berjumlah 7 sekolah. Selain itu juga keaktifan dengan dukungan sekolah dalam keikutsertaan siswa/i berlomba dalam kompetisi baik lokal maupun internasional. Lalu bagaimana dengan kita menanggapi dan mengkritisi Matematika? Apakah matematika masih menjadi pelajaran yang menyeramkan? Ehm... mungkin saatnya insan pendidikan terus berproses belajar Quo Vadis .

Museum Kebangkitan Nasional, Tempat Wisata Ilmu

Pernah tahu Fakultas Kedokteran UI yang ada di Salemba...??? Rasanya belum lengkap, bila belum pergi ke Museum Kebangkitan Nasional. Di Museum ini secara kita bisa belajar secara lengkap dengan histori, awal mula sejarah pendidikan Indonesia dimulai.. Ditambah lagi tentang sejarah Budi Utomo Kebudayaan Nasional

Museum dalam pemahaman masyarakat sehari-hari, kadang diidentikkan dengan penyimpanan benda kuno, atau tempat untuk mengenang hal-hal dimasa lalu. Keberadaan Museum-pun mulai dipertanyakan, karena kurangnya ketertarikan masyarakat. Beberapa masyarakat, didominasi masyarakat muda (pelajar, mahasiswa,ataupun peneliti) pergi ke Museum, karena ada suatu kegiatan baik berbentuk tugas maupun observasi, yang harus dilakukan. Bagaimana kesadaran masyarakat secara umum? Hal tersebut menjadi tugas dari pemerintah, juga segala lapisan masyarakat.

Museum berdasarkan definisi ICOM (The International Council of Museum), yaitu sebuah badan (lembaga) tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat, dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang bertugas untuk menghimpun, merawat, meneliti dan menyajikan untuk kepentingan studi (pendidikan), penikmatan (kesenangan) setiap barang (benda) sebagai pembuktian barang material manusia dan lingkungannya. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah RI tahun 1995, dijelaskan tentang fungsi Museum, adalah lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa.

Dilihat dari fungsi kegunaan ketika masa lalu, Museum Kebangkitan Nasional yang terletak di Jl. Dr Abdul Rahman Saleh, No.26,Jakarta Pusat, merupakan tempat yang pernah digunakan untuk Sekolah kedokteran Bumi Putra atau lebih dikenal dengan sebutan STOVIA (School Tot Van Inlandsche Artsen). Keberadaan sejarah Museum juga sangat kental dengan awal pendidikan bangsa Indonesia. Hal tersebut dipertegas Drs. Isnudi, sebagai salah satu dari 50 karyawan di Museum Kebangkitan Nasional.

STOVIA berdiri tahun 1899, keberadaannya digunakan untuk pendidikan kedokteran tahun 1902 sampai 1925 (serta mengawali terjadinya Boedi Oetomo yang didirikan pelajar STOVIA). Pendidikan STOVIA menjadi cikal bakal berdirinya Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran (oleh karena itu, Museum Kebangkitan Nasional digunakan Fakultas Kedokteran UI sebagai tempat ajar oleh mahasiswa baru). Tahun 1926 sampai 1942 dipergunakan untuk pendidikan MULO (SMP) dan AMS (SMA), serta sekolah Asisten Apoteker. Masa pendudukan Jepang tahun 1942 -1945 gedung STOVIA dipergunakan untuk menampun para tawanan Belanda. Pasca kemerdekaan 1945-1973 dihuni oleh bekas keluarga tentara Belanda dan masyarakat Ambon. Kemudian tahun 1973 -1874, karena dinilai memiliki nilai sejarah. Maka, keberadaan gedung dipugar dan dikelola oleh pemerintah DKI Jakarta, kemudian tahun 1983 dijadikanlah gedung STOVIA sebagai Museum Kebangkitan Nasional.

Saat masuk Museum, pengunjung hanya dikenakan biaya Rp.100,00 – Rp. 250,00 (rombongan) atau Rp. 250,00 – Rp.750,00 (perorangan). Pengunjung pertama kali dapat melihat ruang I, disebut Ruang Pengenalan (berisi garis besar yang dapat diketemui, dan fungsi ruangan). Kemudian pengunjung diajak masuk ke ruang II,disebut Ruang Pergerakan Nasional (berisi awal masuknya penjajahan asing masuk Indonesia dengan keadaan Indonesia saat itu), Ruang III, disebut Ruang Awal Kesadaran Nasional (berisi kesadaran nasional dengan lahirnya Boedi Oetomo. Ruangan ini juga berisi koleksi yang berhubungan pendidikan dan kesehatan (kedokteran)). Ruang IV,disebut Ruang Pergerakan Nasional (berisi mengenai berdirinya Boedi Oetomo sampai dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Didalamnya terdiri dari ruang memorial Budi Utomo, ruang peragaan persidangan Pembelaan Dr.H.F.Roll, ruang peragaan kelas kedokteran STOVIA, dan ruang peragaan kelas Kartini.

Ehmm...., mungkin asyik bagi kita berwisata di tempat sejarah. Kalo bukan kita, siapa lagi yang mencintai negeri ini.
(Agustinus)

TANTANG “PENGANGGURAN TERDIDIK” MENUJU HARI ESOK LEBIH BAIK

“(Ria Enes) Susan... Susan.... Susaan... Kalo gede, mau jadi apa? (Susan) Aku kepengen pinter, biar jadi dokter.” Berikut merupakan kutipan dari nyanyian lagu tahun ’90 an, begitu besar keinginan anak-anak sampai-sampai saat ini tergambar dengan adanya acara televisi yang menjanjikan masa depan (diluar aspek pendidikan moral). Bahkan demi meraih sebuah hasil cita-cita maksimal. Seorang anak akan terus melanjutkan proses studi sampai dengan studi tertinggi sarjana, doktor ataupun dengan gelar professor.

Lain cita-cita, lain kebutuhan, lain juga kenyataan. Perubahan keadaan ekonomi secara menyeluruh yang dimulai tahun 1997 hingga saat ini menimbulkan dampak ketidakseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan penyediaan tenaga kerja. Terlebih belum lama ini yang sangat mengkhawatirkan naiknya harga minyak mentah dunia termasuk kebutuhan pokok lain menjadi pemicu dari segi ekonomi. Sementara dari permasalahan pendidikan dapat bermula dari kebijakan manajemen pembelajaran (secara mikro), dan kebijakan pendidikan secara nasional (secara makro). Bila diliat dari dua aspek tersebut ekonomi makro cukup memerlukan waktu lama, padahal lapangan kerja harus segera diatasi karena menyangkut hajat hidup orang utama. Maka harus ada terobosan alternatif untuk mengatasi masalah ini. Pengangguran terdidik memerlukan solusi khusus karena jenis pekerjaan yang diinginkan harus sesuai dengan tingkat pendidikan. Sehingga aspek peningkatan pendidikan diharapkan dapat bersaing dengan pasar bebas yang merambah masuk ke Indonesia.

Menjadi pelajar agar mampu berpikir konstrutif, kreatif dan inovatif dengan pendidikan dasar, menengah dan atas yang baik, sehingga dapat menjadi pelopor dalam membangun secara bertahap kondisi negara. Serta mendorong usaha pemerintah (sumber humas Depdagri) dengan memperbanyak sekolah-sekolah kejuruan dan menyediakan balai-balai latihan kerja untuk meningkatkan keterampilan angakatan kerja baru. Disamping, mendorong agar dana pendidikan dapat lebih diperbanyak bagai mahasiswa di perguruan tinggi atau akademi agar dapat menghasilkan lebih banyak tenaga kerja level menengah ke atas (bidang manajerial) dan mengurangi tenaga kerja rendah.

Usaha-usaha menghindari meningkatnya pengganguran terdidik juga menjadi usaha dari Depdiknas, salah satunya mendorong SMK berkualitas serta pengembangan dan memperbanyak jumlahnya dibandingkan SMU yang ada dengan persentase 70% SMK dan 30% SMU. Hal senada juga diutarakan Suyanto selaku Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) “SMK sebagai sekolah yang memberikan berbagai jenis keterampilan kerja, menjadi solusi tepat dalam mengatas persoalan pengganguran terdidik. Depdiknas terus mendorong pemda untuk memperbanyak jumlah siswa”. Suyanto menambahkan hal tersebut tentunya juga akan didorong dengan bantuan dana serta peralatan pratikum untuk para siswa. (sumber:bipnewsroominfo.com).

Kualitas Perguruan Tinggi

Lalu, bagaimana dengan perguruan tinggi? Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan yang menghasilkan sarjana-sarjana diharapkan mampu menciptakan inovasi di tengah banyaknya pengganguran. Namun di sisi lain, kuantitas dan kualitas perguruan tinggi menjadi tanda tanya besar dalam menjawab tantangan problem masyarakat. Ambil contoh Politeknik Negri Jakarta (PNJ) yang menciptakan pendidikan berkualitas dengan acara seminar maupun cerdas cermat bagi SMU dalam menghadapi masa depan. Lalu bagaimana usaha lain penyelenggara pendidikan perguruan tinggi menghadapi era perkembangan jaman yang terus bergulir?

Saat ini penyelenggara pendidikan di perguruan tinggi lebih bersifat membuka jurusan yang banyak diambil oleh calon sarjana, sebut saja teknik informatika, ekonomi, ilmu sosial dan beberapa jurusan lain. Sedangkan fisika, matematika ataupun ilmu sains tidak menjadi pilihan karena ilmu tersebut “dianggap bukan ilmu siap pakai dalam dunia kerja”. Tapi ironisnya beberapa universitas berani membuka jurusan yang banyak menjadi minat (daripada harus tutup) tanpa diperkuat ahli professional dalam bidangnya, alhasil lulusan dari program studi itu tidak memiliki bekal ilmu yang cukup sehingga menjadi sarjana yang tidak mampu bersaing dan akhirnya pengganguran akan semakin meningkat jumlahnya.

Peningkatan Mutu dan Kompetensi SDM

Menurut Depatemen Tenaga Kerja (Depnaker) peningkatan mutu dan kompetensi SDM menjadi faktor terpenting dalam mengurangi jumlah angka pengganguran. Beberapa faktor diantaranya menciptakan keterkaitan link and match (saat ini masih output oriented belum job oriented) antara sistem pendidikan nasional dan sistem ketenagakerjaan. Mengurangi angka anak putus sekolah dalam pelaksanaan wajib belajar 12 tahun, meningkatkan pendidikan/keterampilan kewirausahaan (entrepreneur) bagi angkatan kerja sehingga mampu membuka lapangan kerja.Dari hal tersebut dapat menciptakan pertumbuhan seimbang antara jumlah angkatan kerja dengan pertambahan penduduk. Sehingga saatnya bagi kita saat ini untuk TANTANG “PENGANGGURAN TERDIDIK” MENUJU HARI ESOK LEBIH BAIK !!!

Jelajah Pendidikan Luar Negeri

Pergi ke luar negeri apalagi bisa studi disana merupakan impian banyak orang. Fenomena saat ini banyak negara-negara banyak masuk ke Indonesia untuk menawarkan pendidikan di negaranya. Lalu, bagaimana pendidikan luar negeri tersebut dan apa yang harus dipersiapkan? Jangan sampai akhirnya hanya sekedar menjadi gengsi belaka.
Melanjutkan studi ke luar negeri bukanlah hal baru. Namun, menilik jumlahnya, kecenderungan itu makin menguat. Kemajuan teknologi dunia maya, pengaruh globalisasi yang tak lagi mengenal batas seolah membuat pergerakan orang secara fisik untuk semakin menimba ilmu untuk memperkaya pengetahuan yang didapatnya. Banyak alasan lain yang membuat mereka memutuskan mengambil kuliah di luar negeri, sebut saja: karena jaminan akan dapat bekerja di luar negeri, faktor kenyamanan dengan fasilitas berlebih yang didapat di luar, mendapatkan sertifikat atau menjadi lulusan Perguruan Tinggi dengan peringkat dunia, dan juga ada salah satu fakta kenyamanan atau masalah ekonomi dan politik yang membuat beberapa orang menjadi gusar untuk menimbanya.
Gejala semakin pesatnya perkembangan masuknya Universitas luar negeri masuk ke Indonesia sebenarnya sudah mulai dapat dilihat beberapa tahun belakangan ini. Selain negara-negara Eropa, Amerika, dan Australia, negara-negara Asia Tenggara kini juga sering melakukan pameran pendidikan guna menarik minat pelajar Indonesia, terutama dari Singapura dan Malaysia. Hal tersebut menggambarkan pasara bebas dunia pendidikan sudah dimulai. Terlebih negara-negara Asia Tenggara yang menawarkan pendidikannya mempunyai keuntungan karena budaya yang tidak jauh berbeda dan bisa mendapatkan sertifikat sama seperti di Eropa,Amerika,Australia dengan belajar di negaranya.
Pilihan Pendidikan
Bukan hal yang mudah menentukan perguruan tinggi mana yang layak dipilih calon mahasiswa. Soal kualitas universitas, biaya pendidikan, dan kemampuan diri sendiri harus menjadi pertimbangan utama. Perguruan Tinggi dalam negeri yang juga mempunyai rekor dunia seperti Universitas Indonesia, ITB atau UGM atau perguruan tinggi luar negeri?
Bagi mereka yang sejak awal memilih untuk melanjutkan studi ke negeri orang, berbagai penyelenggaraan pameran dan seminar pendidikan luar negeri bisa menjadi sarana untuk "berbelanja", setidaknya sekadar "cuci mata" untuk melihat Universiats apa yang akan dipilih. Sayangnya, tak jarang calon mahasiswa tak punya banyak waktu untuk membuat perbandingan sehingga saat tenggat waktu pendaftaran universitas semakin mendekat, pilihan yang dibuat bukan yang paling tepat. Terlebih waktu pendaftaran dan pengumuman universitas luar jauh lebih cepat dibandingkan perguruan tinggi yang ada dalam negeri.
Segi biaya juga menjadi sorotan tersendiri bagi calon mahasiswa, baik biaya untuk kehidupan sehari-hari, akomodasi maupun kuliah itu sendiri. Tentunya menjadi pertimbangan yang begitu masak. Sehingga tidak heran beberapa universitas menyediakan akomodasi asrama bagi calon mahasiswa yang ingin melanjutkan studi di tempatnya. Salah satu hal yang kerap menjadi kerisauan orangtua ketika mengirim anaknya bersekolah ke luar negeri adalah urusan akomodasi. Amankah tempat tinggalnya? Jauhkah letaknya dari kampus? Nyamankah kamarnya untuk belajar? Bagaimana lingkungannya? Perguruan Tinggi-pun pada akhirnya teridentik hanya sanggup untuk dilakukan keluarga yang keberadaan ekonominya sudah mapan. Hal tersebut mungkin tidak terkendala masalah bagi calon Mahasiswa yang sudah dipastikan mendapatkan beasiswa di tempat universitasnya kelak. Biaya pendidikan yang terus meroket, apalagi jika mata uang negara yang bersangkutan lebih sering menguat dibandingkan dengan rupiah, kerap kali bergerak tak sejalan dengan penghasilan orangtua di dalam negeri. Apalagi jika perguruan tinggi yang hendak dipilih adalah universitas swasta, ternama, dan menjadi incaran calon mahasiswa dari berbagai belahan dunia.
Ambil contoh Harvard University yang menjadi perguruan tinggi nomor satu di AS dan juga urutan teratas di dunia, misalnya, mengutip biaya kuliah untuk mahasiswa internasional pada tahun ajaran 2007-2008 mendatang sebesar 35.000 dollar AS (Rp 315 juta) setahun. Ini masih belum termasuk akomodasi yang mencapai hampir 11.000 dollar AS (Rp 99 juta), juga biaya hidup dan asuransi yang mencapai 7.800 dollar AS (Rp 70 juta). Artinya, dalam setahun, orangtua harus siap dengan hampir Rp 500 juta untuk biaya kuliah S-1 (undergraduate) atau Rp 2 miliar sampai sang anak menyelesaikan empat tahun kuliah. (sumber: kompas 24 Juli 2007)
Keberadaan tempat atau situasi tempat juga menjadi pilihan. Karena kondisi tempat yang jauh dari negara asal juga mempengaruhi cost terlebih dengan kebudayaan yang berbeda pula. Faktor kesiapan diri seseorang baik secara mental dan fisik menjadi perhatian terpenting. Dengan kondisi yang serba baru,bahasa berbicara yang baru,budaya, jauh dari tempat tinggal merupakan hal yang harus disiapkan calon mahasiswa.
Bagi orang tua, bagaimana menyekolahkan anaknya yang akan melanjutkan studi di luar? Bagaimana dengan kesiapan-kesiapan sebelum calon mahasiswa berangkat di luar? Bagaimana dengan pola studi disana? Pendidikan memang merupakan investasi terbesar untuk seseorang dalam kehidupannya beberapa tahun kedepan, pertanyaan-pertanyaan tentunya akan selalu muncul tergantung bagaimana kesiapan pribadi seorang calon mahasiswa?
(Agus)

CSR Bentuk Perwujudan Pendidikan Indonesia

Kemiskinan masih menjadi kendala utama dalam mencapai pembangunan nasional. Terlebih dengan keberadaan ekonomi masyarakat tak menentu. Ambil contoh, harga minyak dunia yang terus meningkat, cukup mempengaruhi tingginya harga barang dasar kebutuhan pokok. Sebuah kewajiban mulia untuk mengerti permasalahan tersebut. Salah satu cara adalah dengan pengupayaan peningkatan kondisi kemasyarakatan dimana dunia usaha berada. Jika produktifitas masyarakat memberi dukungan yang proaktif, dan jika image perusahaan mendapat nilai positif. Tak heran dunia usaha akan bisa beroperasi secara lebih leluasa, dan menciptakan kesempatan kerja lebih luas. Juga pemerataan pendidikan. Pada akhirnya untuk kedepannya, hasil yang dicapai akan dapat dinikmati dari segi dunia usaha, maupun masyarakat sendiri.
CSR di mata Pemerintahan,

Peran dunia usaha diatur tersendiri dalam undang-undang (UU), pasal yang mengatur hal tersebut terdapat pada pasal 74, ayat 1: “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Ayat 2, berbunyi, “Tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. Sedangkan ayat 3, menyatakan, “Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Corporate Sosial Responsibility (CSR), seringkali dianggap memberatkan dalam keberatan dunia usaha itu sendiri. Bahkan dalam beberapa waktu lalu, dalam suatu kesempatan Jusuf Kalla Wakil Presiden mengatakan "Jangan CSR dijadikan beban tetapi jadikan investasi jangka panjang yang hasilnya bisa dipetik pada masa yang akan datang," ujarnya seperti yang dikutip bisnis.com pada pembukaan CSR Indonesia 2007 di JCC. Dari hal tersebut tergambar adanya ajakan positif dari pemerintah pusat dalam membangun perekonomian,serta pengentasan kemiskinan secara bersama-sama.
Program CSR yang dicanangkan oleh pemerintah, dan marak dalam beberapa tahun belakangan ini merupakan bukan hal baru. Dalam dunia usaha, hal tersebut merupakan terobosan yang patut diapresiasi dan didukung. CSR sebagai bentuk kewajiban perusahaan dalam memperhatikan pendidikan masyarakat. Dengan program ini, masyarakat sekitar merasa diperhatikan dari upaya yang diusahakan oleh sebuah perusahaan. Dari hal tersebut, keberadaan masyarakat di sekitar dunia usaha menjadi pusat perhatian dari pemerintah, maupun dunia usaha tersendiri.
Mengapa pendidikan ?

Pendidikan merupakan hal terpenting dan mendasar yang dibutuhkan oleh setiap warga negara Indonesia,tanpa terkecuali. Di Indonesia hak seseorang untuk mendapatkan pendidikan yang layak bahkan mendapat perlindungan melalui undang-undang. Artinya, diharapkan Warga Negara Indonesia mampu berproses, sebagai bentuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Meskipun dalam keberadaan ekonomi masyarakat yang mengalami kekurangan. Negara secara khusus berperan mengatur keberadaan dunia pendidikan, agar perkembangan perkenomian maupun stabilitas Indonesia tidak tertinggal dengan negara lain,salah satunya adalah dunia pendidikan.

Di sisi lain, bila kita bercermin melihat kondisi pendidikan di Indonesia, semakin marak, dan banyaknya calon mahasiswa Indonesia melanjutkan studi di luar. Fakta kenyamanan atau masalah ekonomi, keadaan politik, sampai dengan prestasi akademis Sekolah/Universitas luar, membuat beberapa orang menjadi tertarik. Diperparah lagi dengan kondisi bangunan beberapa sekolah yang masih sangat mengkhawatirkan. Setidaknya hal mendasar yang harus dibangun untuk meningkatkan status negara Indonesia yang telah merdeka selama 63 tahun, menjadi sangat nyata untuk diperjuangkan.

Keberadaan pentingnya pendidikan tidak hanya menjadi tugas pokok, dan tanggung jawab yang dilakukan pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) semata, melainkan tugas dan tanggung jawab keseluruhan. Diantaranya peran masyarakat dan dunia usaha/perusahaan. Sehingga terdapat tiga unsur terpenting dalam membangun dunia pendidikan Indonesia, yang kesemuanya tentunya harus bersinergi.

Beberapa perusahaan besar, seolah sudah memantapkan dirinya dalam membangun CSR. Sebut saja, Sampoerna Foundation, atau perusahaan yang bergerak di bidang perbankan seperti Bank DKI. Namun, ternyata tidak hanya perusahaan-perusahaan tersebut yang bergerak. Perusahaan kecil yang memiliki konsern terhadap dunia pendidikan, dan dunia masyarakat tidak ketinggalan untuk meningkatkan CSR di perusahaan mereka. Seperti di edisi ini, GOCARA mengangkat perusahaan transportasi seperti Blue Bird Group, ataupun perusahaan teknologi informasi seperti Biznet melakukan kepedulian mereka. Walaupun masih dalam tahap sederhana, namun setidaknya ada keseriusan tersendiri perusahaan terhadap pendidikan.

Dari kepedulian tersebut, setidaknya membangun, dan memperbaharui kondisi pendidikan di Indonesia. Sehingga angka pengangguran, buta huruf, kesulitan dalam menggapai bangku sekolah, bangunan sekolah yang sudah hampir ambruk, ataupun kesulitan dalam mendapatkan bahan ajar, menjadi hal yang dapat teratasi dengan tiga unsur dalam pembangunan masyarakat Indonesia lebih baik.
(Agustinus)

tulisan lama di Tabloid Pendidikan GOCARA - Kepedulianku Menciptakan Perubahan

Kepedulian lebih menggambarkan sikap personal, kelompok, ataupun suatu instansi terhadap suatu sifat perbuatan untuk pihak/orang lain. Berbagai macam bentuk kepedulian diciptakan untuk menghasilkan suatu hal positif, nilai plus ataupun perubahan.

Catat saja di bidang energi sumber daya manusia, penemuan akan penghematan energi untuk menekan biaya bahan bakar yang tinggi. Di bidang pangan baru-baru ini dari Pemerintah Pusat dengan pro kontra mengeluarkan padi supertoy. Kesemua hal tersebut bertujuan menciptakan perubahan untuk hasil atau maksud tertentu.

Lalu, bagaimana dengan pendidikan? Pendidikan dengan keadaan ekonomi masyarakat saat ini,seolah semakin menjadi saling bertempur. Dengan keadaan ekonomi yang kurang, atau pendidikan masyarakat rendah akan semakin menimbulkan banyaknya pengganguran. Terlebih pasar bebas pendidikan dari negara lain semakin masuk kedalam negara ini.

Calon legistatif sampai dengan Presiden pemilu 2009, menyoroti pendidikan sebagai modal utama mereka. Begitu juga dengan perusahaan. Perusahaan tentunya menuntut SDM terbaik di perusahaan mereka untuk pengembangan bisnis. Hal tersebut juga dilakukan dalam target pasar, yang difungsikan agar tertarik,mencerdaskan kehidupan bangsa (seperti diharapkan pemerintah dan masyarakat) menutupi usaha/bisnis mereka dari hal tertentu, atau alih-alih untuk kepentingan perusahaan terhadap masyarakat, khususnya masyarakat muda yang masih ”haus” akan pendidikan.

Terlepas dari kepentingan tersebut, sebaiknya atau secara normatif, kepedulian timbul dari hati nurani untuk menciptakan perubahan lebih baik. Hal tersebut setidaknya dapat dilakukan oleh banyak pihak. Dari segi pemerintah, perusahaan swasta, BUMN, maupun bisa dilakukan keluarga mampu melalui Gerakan Orang Tua Asuh (GNOTA), yang telah dilakukan oleh banyak pihak.

Kesemuanya hal tersebut, kembali lagi pada sikap masing-masing personal, atau kelompok dari Negara dengan warna demokrasinya. Kepentingan untuk hanya tinggal ”home stay” saja, menikmati dengan merekuh sebanyak-banyaknya sumber daya yang ada di negara ini, atau dengan niat tulus mencintai negara ini dengan mau mengembangkan potensi (dari segala aspek termasuk pengembangan SDM). Terutama di bidang pendidikan sebagai modal kedepan. Setidaknya ada harapan tercermin pada pembukaan UUD ’45 dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga menjadi bukti konkret/nyata dengan hasil yang bisa dinikmati untuk ratusan juta penduduk Indonesia. Semoga !!!