Kamis, 14 Oktober 2010

Bahasa Ibu, Bahasa-Ku

Bahasa berfungsi untuk digunakan sebagai alat komunikasi, baik antar per orang maupun khayalak ramai secara lisan maupun tulisan. Bahasa di Indonesia terdiri atas tiga, diantaranya: bahasa daerah merupakan bahasa Ibu, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa, dan bahasa Internasional (Inggris) untuk komunikasi antar Negara.

Berbicara bahasa, tentunya tidak terlepas dari sejarah. Bila bahasa daerah berasal dari kebudayaan etnis yang timbul dari masyarakat sekitar. Bahasa persatuan Indonesia, lahir dari kongres Pemuda. Hasilnya kemudian dinamakan dengan Putusan Pemuda, kemudian berganti nama Sumpah Pemuda pada 1931 oleh Sultan Takdir Alihsjahbana. Sumpah Pemuda dalam naskah asli, berbunyi: “Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. (versi asli). Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.(versi ejaan yang disempurnakan),” Sedangkan bahasa Internasional (bahasa Inggris) merupakan bahasa yang timbul, karena Inggris pada perang dunia II memiliki jajahan paling luas di dunia.

Lalu bagaimana dengan penerimaan masyarakat, mengenai bahasa yang berbunyi “Berbahasa Satu Bahasa Indonesia” dalam Sumpah Pemuda? Mustakim (Kepala Bidang Pembinaan Bahasa dan Sastra, Pusat Bahasa Depdiknas) mengutarakan bagaimana kata tersebut dimasukkan dalam mata pelajaran, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang salah. Multamia (Fakultas Ilmu Budaya – Indonesia), TD. Asmadi (pemerhati bahasa di media massa) pun menyatakan ada proses sosialisasi Sumpah Pemuda yang berkembang di masyarakat.

Sosialisasi dan isi yang berubah dalam masyarakat, menyebabkan bahasa daerah menjadi tidak diakui. Bahasa di Indonesia, hanya ada bahasa Indonesia tanpa bahasa daerah. Walaupun dalam isi sebenarnya keberadaan bahasa daerah diakui keberadaanya dan perlu dilestarikan sebagai budaya. Bahasa Indonesia pun diputuskan sebagai bahasa pengantar pendidikan dari TK sampai Perguruan Tinggi. Maka, salah satu fungsi bahasa daerah menjadi hilang, terutama dalam pendidikan.

Kebijakan tersebut membuat semua anak Indonesia, harus bisa bahasa nasional. Sebagai bahasa untuk sekolah. Bila tidak bisa berbahasa Indonesia, maka tidak akan mempunyai kesempatan apapun dalam tataran nasional. Itu menjadi konsekuensinya. “Di satu sisi kita punya keinginan untuk melestarikan, menjaga kesinambungan eksistensi bahasa daerah, tetapi di sisi lain kita mengambil keputusan yang merebut posisi bahasa daerah,” tutur Multamia. Walaupun demikian peran bahasa, baru saja telah diatur dengan UU No.24 tahun 2009.

Bahasa Daerah, “Bahasa Prasasti”

Indonesia merupakan salah satu Negara, yang memiliki bahasa Ibu terbesar di dunia (12,36 persen). Bahkan bahasa jawa, masuk dalam dua puluh besar bahasa dunia. Dari data yang berkembang di masyarakat, ada lebih 742 bahasa di Indonesia. Parahnya kondisi bahasa di beberapa daerah tidak sebanding dengan jumlah penutur yang ada, dan ratusan bahasa terancam punah karena jumlah penutur yang kurang dari satu juta orang.

Pengklasifikasian bahasa pun dibedakan berdasarkan kondisi penuturnya, menjadi: potentially endangered languages (berpotensial punah, karena kencederungan anak muda sudah mulai tidak menggunakan bahasa ibu/daerah), endangered languages (tidak ada anak muda yang bisa berbahasa daerah. Hanya orang yang sudah tua yang menggunakan bahasa tersebut), seriously endangered languages (kondisi ini adalah dengan jumlah penutur berumur 60 tahun keatas, moribound languages (kondisi dengan jumlah penutur diatas usia 70 tahun, dan hanya digunakan kelompoknya), extinct languages (jumlah penutur hanya satu orang). (menurut Multamia).
Sedangkan menurut Mustakim, pengklasifikasian dibedakan menjadi; bahasa potensial yang jumlahnya diatas satu juta penutur. Menengah, sifatnya dalam kondisi berbahaya. Terakhir, kondisi bahasa daerah yang terancam punah.

Kesepakatan bahasa Indonesia sebagai bahasa pendidikan, oleh pemerintah tidak dapat disalahkan. Keberadaan tersebut dikarenakan Indonesia memiliki luas wilayah dan penduduk yang banyak. Sehingga dengan keberadaan bahasa yang banyak, tentunya tidak mungkin dimasukkan dalam pendidikan. Berapa pembiayaan yang dibutuhkan untuk menyediakan sekolah, buku pelajaran,dan guru untuk bahasa daerah, dengan jumlah penutur pun beragam.

Kondisi jumlah penutur dan bahasa yang tidak seimbang, mengakibatkan yang digunakan dalam pembelajaran hanya daerah dengan jumlah penutur diatas satu juta. Sebut saja Jawa, Sunda dan Bali. Bagaimana dengan bahasa lain? “ … Sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas dan diperkuat oleh UU No. 24 tahun 2009. ‘Bahasa daerah dapat digunakan sebagai pengantar dalam tahap awal pendidikan’,”tutur Mustakim. Tersirat tanggung jawab dan emban dalam menjaga bahasa daerah, salah satunya terdapat di pendidikan. Lalu bagaimana dengan sekolah yang berada di perbatasan? Mustakim mengutarakan sekolah harus mengembangkan bahasa di mana posisinya berada. Hal tersebut juga sebagai bentuk tanggung jawab dalam pemeliharaan budaya.
Pemerintah daerah juga berkewajiban menjaga bahasa. Termasuk menentukan bahasa daerah mayoritas, untuk dijadikan muatan lokal dalam pendidikan. Akhirnya anak Indonesia, akan memiliki karakter dan kaya akan budaya.

Usaha untuk memasukkan bahasa daerah pun dilakukan Pusat Bahasa, dengan memasukkan istilah daerah dalam Kamus Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Selain itu diutarakan oleh TD. Asmadi, beberapa media juga berusaha mengenalkan bahasa daerah dalam terbitannya. Namun, usaha pengenalan bahasa yang paling utama, adalah keluarga dan sekolah.
Sejauh apa niat diri kita, keluarga dan sekolah dalam memajukan bahasa daerah? Semua akan kembali pada masing-masing individu dan kelompok. Selamat berproses…!!! (Agustinus)

Pentingkah Perpustakaan Sekolah?

Sebuah perpustakaan tentunya harus menyediakan informasi dan ide secara fungsional, dan berbasis pada pengetahuan dan informasi. Tidak terlepas perpustakaan sekolah. Misi perpustakaan tersendiri, adalah menciptakan perpustakaan efektif dalam berbagai format dan media. Serta berhubungan dengan jaringan perpustakaan dan informasi yang lebih luas sesuai dengan manifesto Perpustakaan Umum yang dikeluarkan oleh UNESCO.

Dalam American Library Association (ALA)-1989, menyimpulkan: “Information literate people are those who have learned how to learn. They know how to learn because they know how knowledge is organized, how to find information ,and how to use information in such a way that others can learn for them. They are people prepared for lifelong learning, because they can always find the information needed for any task or decision at hand.” (Buku Literasi Informasi: Pengantar untuk Perpustakaan Sekolah)

Laporan ALA tersebut menekankan pentingnya informasi dalam proses belajar, meniti karier, melakukan bisnis, dan menjalani hidup sebagai warga negara. Selain itu ditunjukkan pula bagaimana literasi informasi berjalan selaras dengan reformasi pendidikan, yang bertujuan untuk peningkatan mutu pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai pendidikan menengah atas. Namun bagaimana realita perpustakaan di sekolah?

Mungkin perlu kelegaan dan pengakuan, bahwa belum semua sekolah di Indonesia memiliki perpustakaan yang memadai. Terlebih untuk melaksanakan program keberinformasian. Bahkan menurut data perpustakaan nasional RI tahun 2007, mengenai ketersediaan perpustakaan di SD menurut propinsi. DI Yogyakarta memiliki perpustakaan tertinggi (Kabupaten Kotawaringin Barat (91,57%)). Di sisi lain presentase terendah adalah Maluku Utara (Kabupaten Halmahera Selatan (0,40%)), dan DKI Jakarta sebagai Ibu Kota berada di urutan ketiga dibawah Jawa Tengah.

Sumber Daya Manusia
Berbicara perpustakaan tentu tidak saja ‘melulu’ mengenai prasarana dan sarana, tetapi juga harus melihat dari sumber daya manusia yang dimiliki. Kembali berbicara data perpustakaan nasional RI, menyatakan Sekolah Dasar (SD) Negeri DKI Jakarta tidak satupun memiliki petugas berpendidikan formal dalam bidang perpustakaan. Bahkan pada tingkatan SMP Negeri, pengelola/pustakawanan tidak memiliki kemampuan dan keterampilan dan pengetahuan dalam mengelola perpustakaan. Karena tugas dan fungsi perpustakaan tidak hanya sebagai tempat peminjaman/’rental’ buku.

Dari hal tersebut, tentunya diharapkan kesadaran akan perlunya tenaga pustakawan untuk mengelola perpustakaan. Sehingga pada sasarannya akhirnya siswa/i, akan menjadi lebih kritis dan kreatif dalam menyikapi problem ilmu pengetahuan. Perpustakaan juga menjadi literasi yang mendukung proses pembelajaran dalam kurikulum. Dari hal tersebut, perlukah perpustakaan ada di sekolah kita? Seberapa pentingkah ada perpustakaan sekolah? Bila ada, apakah fungsi dari perpustakaan tersebut? Sebagai pusat peminjaman buku dan aksesoris semata, atau penunjang dari proses pembelajaran? Jangan-jangan guru dan sekolah, mengalami ‘insomnia’ siswa/i lebih kreatif dan kritis (karena pengetahuan lebih dari membaca)? Ehm... saatnya berefleksi bersama.

BUKU VERSUS TEKNOLOGI

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) kembali dirayakan setiap bulan Mei, sebagai bentuk pemeringatan akan lahirnya sang tokoh, Ki Hadjar Dewantara. Beberapa pengamatan yang dilakukan oleh lembaga sosial masyarakat bidang pendidikan, maupun lembaga resmi pendidikan seperti Universitas. Banyak yang menyoroti kondisi memprihatinkan dari sekolah di luar kota besar. Jarak tempuh bersekolah yang terlalu besar, guru yang mengajar hanya sewaktu-waktu (bahkan tanpa kompetensi dalam menjadi pendidik) sampai dengan ketersingkiran informasi dari dunia luar (salah satu hal yang paling jelas adalah akses dalam mendapatkan buku pelajaran).

Buku merupakan salah akses utama dan mendasar dalam pembelajaran. Penulis melihat sangat banyak pemerhati pendidikan, yang menyesali permasalahan buku masih terus berlanjut. Beberapa masyarakat perkotaan, memanfaatkan kesulitan dalam memperoleh informasi dengan menggunakan akses teknologi. Perkembangan teknologi informasi berkembang pesat, salah satu situs yang paling banyak digunakan adalah google.

Penerimaan Informasi Melalui Teknologi
Perkembangan teknologi dalam pendidikan turut digunakan dalam penggunaan jardiknas (jaringan pendidikan nasional). Jardiknas digunakan salah satunya untuk menyebarkan buku elektronik (e-book). Bagaimana aplikasi penggunaan jardiknas dalam kehidupan sehari-hari, terutama praktek di lapangan oleh para pendidik? Apakah hal tersebut sudah bersifat solusi?

Permasalahan buku sebagai ilmu pengetahuan, ternyata tidak hanya berhenti sampai proses tersebut. Karena permasalahan dalam pemerintahan yang terjadi dalam buku pelajaran, buku tidak bisa dimanfaatkan terus menerus berkelanjutan untuk adik-adik kelas. Sehingga dari tahun per tahun pengeluaran untuk buku dari orang tua untuk anaknya terus menerus terjadi, bahkan jumlah dalam nominal terus meningkat.

Beberapa praktisi pendidikan mengatakan, peran buku tidak dapat digantikan dengan teknologi. Seperti salah satu slogan dalam World Book Day (WBD) Indonesia :”BANYAK HAL YANG NGGAK BISA DICARI MELALUI GOOGLE. BACA BUKU DONG.” Dengan menggunakan buku, seseorang akan merasa dengan mudah untuk mempelajari dan saling mendiskusikannya. Terlebih penggunaan akses buku lebih bisa diterima dikalangan masyarakat Indonesia. Mungkin dikarenakan kondisi Indonesia yang terdiri atas negara kepulauan, dan daya tangkap masyarakat yang butuh perhatian pada pendidikan.

Catat saja dalam pemilu legislatif lalu, walaupun dengan menggunakan biaya besar, tenaga ahli dan penyediaan fasilitas komputer. Proses input yang terjadi pada tabulasi nasional sangat lama, bahkan mengalami banyak kendala. Dalam satu kasus lain di daerah pedalaman di daerah Jawa Barat, ketika kelurahan mendapat program komputerisasi. Fenomena yang ada dari staf kelurahan tersebut, belum bisa menggunakan teknologi tersebut. Hal tersebut membuktikan secara sederhana belum ketersiapan penggunaan teknologi di beberapa daerah.

Bagaimana sebaiknya menyiasati kebutuhan buku di Indonesia? Apakah kembali dengan teknologi? Dari teknologi tersebut, apakah hasilnya harus dicetak dan diprint untuk disebar luaskan? Lalu, apa perbedaan dengan buku? Hal tersebut merupakan tugas pengembanan negara dalam menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Selamat berproses...!!!

Mampukah Guru Lebih Berkualitas dan Menjadi Pilihan Profesi?

Sejenak apa yang terlintas dalam pemikiran tentang profesi guru? Bagaimana karakter yang harus dimiliki seorang guru? Bagaimana kesejahteraan guru di Indonesia saat ini? Mengapa guru selalu menjadi second opinion dari pemilihan profesi? Siapa sebenarnya guru, sebagai pencipta ilmuwan, professional muda atau hanya menghasilkan pegawai biasa saja?

Beberapa pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan mendasar, sebagai pemilihan profesi guru. Guru merupakan pendidik atau pengajar yang memiliki tanggung jawab dalam segi moril. Bahkan tanggung jawab guru termasuk sebagai pengemban dari UUD 1945 dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam sejarahnya guru dan sistem pendidikan Indonesia, pernah menggapai masa keemasannya. Negeri tempat asal minyak Petronas, sempat belajar di Indonesia. Bedanya saat ini Petronas mampu menjadi perusahaan minyak dalam 5 besar dunia, sedangkan Pertamina tidak masuk dalam peringkat tersebut. Ada apa dengan hasil lulusan atau SDM Indonesia?

Sertifikasi Guru Mampukah Menjadi Penyeleksian Kualitas

Kebijakan pendidikan nasional yang saat ini sedang ramai diperbincangkan salah satunya adalah sertifikasi guru. Terlepas dari penyimpangan dari segi praktek dan hal negatif lainnya. Dilihat dari segi kebijakannya, hal ini merupakan hal positif dari Bambang Sudibyo. Dengan tujuan sebagai upaya peningkatan mutu pendidik, pada akhirnya berimpas pada para pendidik di Indonesia.

Problematik selama ini, pemerintah hanya memfokuskan pada peningkatan dan kemandirian suatu sekolah/universitas. Atau, pada raihan peserta olimpiade yang secara khusus dilatih agar mampu menghasilkan medali. Seandainya saja semua sekolah di Indonesia, guru yang ada merupakan pencetak kualitas terbaik. Mungkin dalam 20 tahun mendatang, negeri ini akan diisi oleh kualitas unggul terbaik.

Guru berkualitas lambat laun tidak dapat ditawar lagi. Pengusahaan sertifikasi guru untuk peningkatan mutu pendidik, kadang tidak dibarengi usaha yang dilakukan. Seringkali untuk peningkatan kompetensi, asal saja mengikuti seminar asalkan mendapat sertifikat. Dalam sebuah seminar kelayakannya kadang juga patut dipertanyakan, terlebih dengan pengumpulan seminar tentunya hal tersebut bukan merupakan inti. Sasaran peningkatan mutu pendidik, seperti pendidik mampu penggunaan teknologi berbasis Information Communication Technology (ICT), penggunaan multimedia dalam mengajar, ataupun hal lain yang menjadi keunggulan guru. Tentunya agar guru dan siswa mampu menjadi kreatif dan handal.

Bila tahap peningkatan kualitas dengan sertifikasi guru hampir selesai dijalankan,sempat tertimbul dalam benak pemikiran. Beranikah pemerintah menyeleksi secara ketat guru berkualitas? Walaupun secara gambaran nyata, masih banyak guru yang mengajar lebih dari satu bidang studi. Malah dengan ironisnya hal tersebut bukan merupakan keunggulan dari guru pendidik tersebut. Bagaimana dengan anak didiknya? Mungkin saatnya dicari pemecahannya! Bila guru berkualitas diperhatikan dengan kesejahteraan baik. Ayo unjuk diri,siapa yang mau jadi guru?

CERITA KLASIK UNTUK MASA DEPAN

Ujian Nasional (UN) akan dihadapi beberapa siswa yang sudah memasuki kelas jenjang akhir akhir untuk masuk dalam tingkat lebih tinggi. Bagi sebagian besar siswa UN, merupakan salah satu momok yang dianggap menakutkan. Bahkan mempengaruhi efek psikologis siswa. Sampai – sampai karena momok menakutkan dalam UN, beberapa anak harus rela belajar mati-matian agar bisa lulus. Atau, lebih parah lagi semakin banyak penjualan ijazah palsu agar bisa menghindar dari UN dan langsung lulus. Tapi berapa orang yang mampu dalam hal tersebut?

Bagaimana dengan sekolah? Berkaitan dengan UN, sisi positif yang bisa diambil. Sekolah akan berusaha bagaimana menghasilkan kualitas terbaik siswa. Minimal agar siswa dapat lulus dari UN. Bagaimana caranya agar bisa meningkatkan kualitas dari siswa? Salah satu caranya adalah dengan terus mengajak para siswa untuk mengerjakan soal atau bahan ujian. Cara tersebutlah yang dianggap beberapa kalangan pendidikan, menyalahi dari proses pendidikan yang ada. Sehingga otomatis proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan beberapa sekolah pada tingkatan terakhir menanti UN, hanya soal, soal dan soal.

Mungkin terbesit dalam pemikiran. UN bagi siswa sekolah dari tahun ke tahun sampai saat ini masih menjadi permasalahan tersendiri bagi dunia pendidikan di Indonesia. Padahal kenyataannya UN tetap dilaksanakan per tiap tahunnya. Sebut saja penetapan mata pelajaran yang diujikan, nilai standar kelulusan, sampai-sampai risiko dengan jumlah siswa yang tidak lulus.

Bila semakin banyak orang yang tidak lulus. Siapa yang patut disalahkan dalam hal tersebut? Orang tua, sekolah, guru atau pemerintah pusat. Padahal secara gamblang jelas bahwa kualitas pendidikan di kota dan beberapa daerah sangat jauh. Bahkan tidak usah berbicara antara kota dan desa. Di jakarta pun keberadaan sekolah beraneka ragam, termasuk dari kualitas. Ada yang tertinggi sampai kualitas terendah,bahkan dari bangunan ber AC sampai yang hampir roboh.

Kilas balik UN

Menengok kembali sejarah UN. Beberapa sistem sempat mewarnai pola baku sistem ujian akhir untuk siswa. Sebut saja dari berbagai sumber yang didapat tahun 1950-1960 disebut dengan ujian penghabisan,ujain berbentuk esai tersebut dikoordinir langsung oleh pemerintah pusat hasilnya diperiksa di pusat rayon. 1965-1971 dikenal dengan nama Ujian Negara, 1972-1979 sekolah diberi kebebasan dalam soal ujian negara dengan pedoman yang ada. 1980-2001, mulai diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk: Ebtanas untuk mata pelajaran pokok, sedangkan EBTA untuk mata pelajaran non-Ebtanas. 2003 dikenal istilah UAN siswa dinyatakan lulus jika memiliki nilai minimal 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-ratanya minimal 6. Beberapa tahun terkahir ditetapkan dengan sistem UN dengan penentuan batas minimal dan nilai terendah.

Dari hal tersebut terlihat bahwa pola baku sistem ujian akhir untuk siswa seringkali berubah seiring dengan pergantian pejabat atau periodik pemerintahan. UN memang memiliki nilai postif dan negatif. Lalu bagaimana seharusnya? Siapa yang harus berperan? UN sebagai sebuah kisah klasik yang terus diperbincangkan, tetapi juga untuk menentukan masa depan.

Tidak Hanya Sekedar Nasi Putih

Pendidikan dasar gratis bagi masyarakat, kerap kali ditemui dalam layananan masyarakat di media cetak maupun elektronik. Meskipun pendidikan gratis tersebut baru ditujukan kepada siswa/i Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Setidaknya hal ini patut mendapat apresiasi lebih. Bahkan menurut beberapa lembaga, Jakarta mempunyai porsi lebih besar berdasarkan jumlah untuk peningkatan pendidikan.

Di sisi lain pendidikan yang dijanjikan gratis tersebut, (dari pengakuan beberapa orang tua),masih ada pemungutan biaya yang diperlukan untuk pendidikan anaknya. Di luar seorang anak tentunya ditambahkan oleh penuturan Ade Irawan. Seorang anak tentunya membutuhkan beberapa hal dalam bersekolah. Sebut saja pakaian sekolah, buku pelajaran (yang tiap tahun harus berganti), Lembar Kerja Siswa (LKS), sampai dengan uang saku siswa.

Pertanyaan dari beberapa pihak adalah, menu gratis seperti apakah yang disajikan dalam sajian gratis makanan utama anak-anak Indonesia. Bila disimak dalam layanan masyarakat yang disajikan, tertera pendidikan gratis tersebut berlaku untuk sekolah negeri, dan bukan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) ataupun Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Bila pemberlakuan gratis tersebut tidak diberlakukan kepada semua sekolah. maka terkesan pendidikan gratis yang diberikan hanyalah menu sederhana. Apakah menu sederhana tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan anak-anak Negara, dalam peningkatan kualitasnya?

Lalu menu seperti apa yang disajikan dalam pendidikan gratis? Hanya berupa nasi putih dan sayur, ataukah sudah memenuhi 4 sehat 5 sempurna? Bila berupa nasi dan sayur tersebut, mampukah seorang anak bersaing dengan seorang anak dari luar yang sudah lengkap dengan menu utama sampai dengan steak yang tersedia dan siap untuk disantap. Pertanyaan dan tantangan tersebut tentunya harus mampu dijawab. Penjawaban wajib belajar sembilan ataupun dua belas tahun dibeberapa daerah dengan pendidikan gratis. Sudah mampukah menjawab kebutuhan masyarakat yang ada? Tentunya dengan perkembangan perubahan jaman terus menerus yang berkembang pesat.
Memberikan Daging untuk Kebutuhan

Meningkatkan kebutuhan yang semula hanya berupa nasi, akan timbul keinginan menambahkan potongan daging dalam menu utama tersebut. Bagaimana caranya? Hal tersebut merupakan tanggung jawab dan kepedulian bersama yang harus diemban. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan, atau masyarakat yang harus memberikan daging untuk kebutuhan anak bangsa?

Kesadaran tersebut tentunya harus diamini bersama. Bila semua Negara menetapkan pendidikan gratis, tentunya porsi akan berbeda satu dengan yang lain. Terlebih Indonesia memilih kelebihan, karena kita masih diberikan nasi sebagai makanan pokok (bila Negara lain makan kentang). Mari jadikan Indonesia Negara berpendidikan yang baik, dan tentunya menjadikan Jakarta sebagai barometer pendidikan Nasional.

Kemana Kaki Harus Melangkah?

Memilih sekolah, ternyata tidak semudah yang dipikirkan. Mungkin persentasenya sama sulit ketika dengan menentukan Presiden untuk Negara ini. Perbedaanya bila presiden untuk masa depan bangsa, sedangkan pendidikan untuk masa depan diri sendiri. Perbedaanya bila pemilhan Presiden hanya dihadapkan pada beberapa plihan saja, sedangkan dalam memilih sekolah jumlahnya sangat banyak. Bahkan dalam satu daerah bisa mencapai angka ratusan.
Terlebih saat ini sekolah dikategorikan menjadi beberapa. Sebut saja Sekolah Standar Nasional (SSN), Nasional Plus, dan juga berstandarkan Internasional. Pertanyaan mendasar, apakah dengan harga dan fasilitas menjamin sekolah ideal? Bila iya apakah sesuai dengan kebutuhan anak? Apakah juga sesuai dengan ‘kocek’ yang dimiliki pula oleh orang tua? Banyak orangtua rela membayar mahal agar anaknya memperoleh pendidikan terbaik. Tapi, tak ada salahnya tetap memperhitungkan apakah biaya yang Anda keluarkan akan sesuai dengan apa yang didapat anak bila bersekolah di tempat tersebut. Uang sekolah yang tinggi, misalnya, tentu rasanya tak sepadan bila fasilitas pendidikan di sekolah tersebut ternyata kurang memadai,atau pengajar yang sama sekali tidak profesional. Walaupun kesemua hal tersebut, orang tua memiliki andil besar, terlebih segi beban moril untuk memikirkan masa depan anak.

Bila anak saat usia semakin rendah, maka anak perlu pengawasan orang tua. Tetapi bila dalam tahapan SMP dan SMA/SMK, anak hendaknya diajak untuk berdiskusi sekolah dan minat yang akan menentukan kedepannya seperti apa yang mereka pilih. Dari hal sederhana tersebut, anak menjadi dilibatkan. Walaupun keputusan anak tidak harus 100% dituruti oleh orang tua. Tentunya dengan penjelasan yang memadai. Anak biasanya memilih sekolah tertentu dengan alasan, karena banyak teman sepermainannya bersekolah di tempat tersebut, ataupun ‘gebetan’ yang bersekolah di tempat tersebut. Dari segi orang tua, jangan sampai kita dihadapkan memilih pendidikan anak karena prestise atau gengsi semata. Beberapa hal tersebut, harus ‘dienyahkan’ dari pemikiran. Kita harus ingat, memilih sekolah untuk masa depan. Bukan dilihat dari lama dirinya belajar disana, tetapi pada proses input yang diterima, dan hasil yang akan dicapai anak tersebut.

Memilih suatu sekolah juga didasarkan pada, apa yang akan kita cari dalam sekolah tersebut? Kata ‘bagus’, ‘ideal’ ataupun ‘terbaik’ itu relatif. Dari kacamata mana atau malah dari kacamata siapa kita memandang sekolah tersebut ideal? Bila sudah dapat menentukan pilihan. Sesuaikah biaya kebutuhan sekolah dengan dana yang dimiliki. Walaupun mahal atau tidaknya pendidikan anak, bergantung pada prioritas mana yang lebih didahulukan? Setelah pemilihan sekolah dalam tahap ini selesai, kemanakah anak tersebut akan melanjutkan pendidikan? Sesuaikan pendidikan anak saat ini, yang akan ditempuh dengan target pendidikan atau cita-cita kedepan? SELAMAT BERPROSES…