Kamis, 14 Oktober 2010

CERITA KLASIK UNTUK MASA DEPAN

Ujian Nasional (UN) akan dihadapi beberapa siswa yang sudah memasuki kelas jenjang akhir akhir untuk masuk dalam tingkat lebih tinggi. Bagi sebagian besar siswa UN, merupakan salah satu momok yang dianggap menakutkan. Bahkan mempengaruhi efek psikologis siswa. Sampai – sampai karena momok menakutkan dalam UN, beberapa anak harus rela belajar mati-matian agar bisa lulus. Atau, lebih parah lagi semakin banyak penjualan ijazah palsu agar bisa menghindar dari UN dan langsung lulus. Tapi berapa orang yang mampu dalam hal tersebut?

Bagaimana dengan sekolah? Berkaitan dengan UN, sisi positif yang bisa diambil. Sekolah akan berusaha bagaimana menghasilkan kualitas terbaik siswa. Minimal agar siswa dapat lulus dari UN. Bagaimana caranya agar bisa meningkatkan kualitas dari siswa? Salah satu caranya adalah dengan terus mengajak para siswa untuk mengerjakan soal atau bahan ujian. Cara tersebutlah yang dianggap beberapa kalangan pendidikan, menyalahi dari proses pendidikan yang ada. Sehingga otomatis proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan beberapa sekolah pada tingkatan terakhir menanti UN, hanya soal, soal dan soal.

Mungkin terbesit dalam pemikiran. UN bagi siswa sekolah dari tahun ke tahun sampai saat ini masih menjadi permasalahan tersendiri bagi dunia pendidikan di Indonesia. Padahal kenyataannya UN tetap dilaksanakan per tiap tahunnya. Sebut saja penetapan mata pelajaran yang diujikan, nilai standar kelulusan, sampai-sampai risiko dengan jumlah siswa yang tidak lulus.

Bila semakin banyak orang yang tidak lulus. Siapa yang patut disalahkan dalam hal tersebut? Orang tua, sekolah, guru atau pemerintah pusat. Padahal secara gamblang jelas bahwa kualitas pendidikan di kota dan beberapa daerah sangat jauh. Bahkan tidak usah berbicara antara kota dan desa. Di jakarta pun keberadaan sekolah beraneka ragam, termasuk dari kualitas. Ada yang tertinggi sampai kualitas terendah,bahkan dari bangunan ber AC sampai yang hampir roboh.

Kilas balik UN

Menengok kembali sejarah UN. Beberapa sistem sempat mewarnai pola baku sistem ujian akhir untuk siswa. Sebut saja dari berbagai sumber yang didapat tahun 1950-1960 disebut dengan ujian penghabisan,ujain berbentuk esai tersebut dikoordinir langsung oleh pemerintah pusat hasilnya diperiksa di pusat rayon. 1965-1971 dikenal dengan nama Ujian Negara, 1972-1979 sekolah diberi kebebasan dalam soal ujian negara dengan pedoman yang ada. 1980-2001, mulai diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk: Ebtanas untuk mata pelajaran pokok, sedangkan EBTA untuk mata pelajaran non-Ebtanas. 2003 dikenal istilah UAN siswa dinyatakan lulus jika memiliki nilai minimal 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-ratanya minimal 6. Beberapa tahun terkahir ditetapkan dengan sistem UN dengan penentuan batas minimal dan nilai terendah.

Dari hal tersebut terlihat bahwa pola baku sistem ujian akhir untuk siswa seringkali berubah seiring dengan pergantian pejabat atau periodik pemerintahan. UN memang memiliki nilai postif dan negatif. Lalu bagaimana seharusnya? Siapa yang harus berperan? UN sebagai sebuah kisah klasik yang terus diperbincangkan, tetapi juga untuk menentukan masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar