Kamis, 14 Oktober 2010

Katakan Indonesia, Bukan ‘Indon’

Seorang anak tentunya tidak dapat dilahirkan, dalam kondisi proses memilih. Apakah dirinya akan menjadi anak dengan orang tua yang mapan, ataukah dirinya harus membantu kehidupan keluarga di tengah kehidupan ekonomi yang serba sulit. Termasuk juga membantu orang tua mencari makan, di Negara orang. Ketika dalam beranjak proses sebagai seorang anak, tentunya kaidah dalam diri, moral dan kebangsaan menjadi tugas utama. Bagaimana rasa nasionalis guru, orang tua dalam mengajarkan anak memupuk kebangsaan tersebut? Apakah dalam perjalanannya kebangsaan tersebut, telah terpupuk dalam jiwa anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI)?
Unari,Spd. merupakan salah satu guru yang diperbantukan sebagai pengajar untuk anak-anak TKI. Unari menyatakan walaupun dalam peraturan sebenarnya, anak tidak diperbolehkan mengikuti orang tuanya yang sedang bekerja menjadi TKI. Desakan ekonomi yang melanda dan tidak merata, akhirnya membuat mereka harus mengajak keluarga mereka untuk berada di Negara tetangga, Malaysia. Oleh karena itu muncul kebijakan dari pemerintah Indonesia dan Malaysia melalui lembaga sosial masyarakat HUMANA, yang mengurus proses pendidikan tersebut. Hal tersebut disatu sisi bertujuan untuk menjamin pendidikan warga Negara untuk memperoleh hal mendasar dalam pendidikan, yang sebagaimana telah diatur Undang-Undang Dasar 1945.
Nasionalisme Terbendung Realitas
“Mengajarkan rasa nasionalisme terhadap masyarakat Indonesia diluar, sangat jauh lebih sulit dibandingkan di Negara sendiri. Dimulai dari anggapan orang luar yang merendahkan Indonesia, dengan sebutan ‘Indon’, dan juga beberapa kenyataan di lapangan yang tidak terlalu merasakan perhatian penuh pemerintah pusat. Terlebih dengan keberadaan ekonomi yang terbelakang. Bila dilihat secara data 36 ribu anak TKI berada di Sabah – Malaysia,” kata Unari.
Ketidakseriusan dan berkurangnya rasa nasionalisme dari anak bangsa, juga berkaitan dengan kurangnya perhatian pendidikan, perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi. Program yang dilakukan terkesan asal jadi dan tidak jelas keberlanjutannya. Aktivitas belajar anak TKI pun terkesan sekedarnya. Kelas dan ruang yang tersedia pun, hanya yang disediakan dari LSM di Malaysia. Belum lagi pelanggaran dan terkesan bisnis semata yang dilakukan LSM tersebut.
Anak-anak tersebut pun digambarkan oleh Unari, bagaimana harus membantu mengambil kelapa sawit. Bahkan dalam potret yang diberikan, secara jelas luka yang terpampang dalam tangan anak-anak TKI tersebut. Bagaimana nasionalisme terbentuk, dengan realitas tersebut?
Upacara di Dalam Kelas
Dalam proses pembelajaran, Unari menjelaskan kepada GOCARA bahwa semua kurikulum yang ada mengikuti Malaysia. Namun, ada satu bidang materi ajar yang ditambahkan, yaitu kajian tempatan. “Kajian tempatnya meliputi pelajaran yang diajarkan di Indonesia, misalkan Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, IPS, termasuk Agama di dalamnya. Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan salah satunya diajarkan pencitraan terhadap bangsa Indonesia. Kesulitan yang ada sangat jauh dari nasionalisme, perlu waktu yang cukup lama untuk mengembalikan kecintaan dan rasa tersebut. Itu juga yang dialami oleh para orang tua disana,” tambah Unari.
Selain kondisi masyarakat TKI disana, hal yang mengakibatkan kurangnya rasa nasionalisme, adalah memandang rendah yang dilakukan Malaysia terhadap Indonesia, termasuk menyebutkan Indonesia dengan sebutan ‘Indon’, dan memandang masyarakat Indonesia tidak ada apa-apanya. Dari hal tersebut akhirnya menular pada masyarakat Indonesia, termasuk anak-anak. “Sehingga untuk masuk kedalam anak-anak dan masyarakat Indonesia, sangat susah sekali. Karena mereka sudah terdogma selama beberapa puluh tahun,” tutur Unari.
Sebagai seorang guru, tentunya ada metode yang disampaikan untuk memupuk rasa nasionalisme. “Usaha yang kami lakukan, misal pada peristiwa atau peringatan besar. Kami guru-guru sudah mencoba menyampaikan baik dengan ceramah dari pengertian Indonesia, seperti: jangan menyebut kata ‘Indon’, tapi sebut dengan lengkap kata Indonesia. Untuk para siswa, kami juga melihatkan gambar peta besar yang mengambarkan keluasan dan kekayaan yang dimiliki Indonesia,” kata Unari, yang menjadi guru honorer di Malaysia dari tahun 2006 sampai dengan 2008. Dengan penjelasan tersebut, anak-anak cenderung sudah mulai berubah.
Dari acara 17 Agustus yang biasa diperingati oleh dengan upacara bendera bersama-sama di Indonesia, sebagai hari kemerdekaan. Sangat sulit untuk dilakukan di Malaysia. Sehingga perayaan kemerdekaan tanpa pengibaran bendera, menjadi pilihan alternatif. “Ada juga peristiwa lucu dan ironis yang terjadi. Pengibaran bendera terpaksa dilakukan di dalam kelas dengan menggunakan tiang setinggi dua meter yang langsung ditancapkan begitu saja. Merinding sekali pada saat proses saat tersebut,” tambah Unari yang ditugaskan 6 sekolah saat itu.
Unari mengharapkan proses kedepan dalam proses nasionalisme bangsa, terutama untuk masyarakat tertinggal tempat dirinya bertugas, ada perhatian tersendiri dan khusus. Perhatian tersebut tidak hanya diberikan pada anak dengan strata ekonomi menengah melainkan juga pada ekonomi sulit. Salah satu contoh bagaimana pemerintah Indonesia hanya membuat sekolah di daerah Sinabalu – Malaysia. Anak yang dapat mengakses pendidikan disana hanyalah menengah keatas. Terlebih jarak yang jauh dengan masyarakat yang dalam keadaan tertinggal. “Masyarakat yang di grassroot, saat ini sama sekali tidak tersentuh,” tambah Unari yang saat ini bertugas di daerah Kalimantan Barat dan masih menjadi calon PNS setelah beberapa lama ditugaskan. (Agustinus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar