Kamis, 14 Oktober 2010

Bahasa Ibu, Bahasa-Ku

Bahasa berfungsi untuk digunakan sebagai alat komunikasi, baik antar per orang maupun khayalak ramai secara lisan maupun tulisan. Bahasa di Indonesia terdiri atas tiga, diantaranya: bahasa daerah merupakan bahasa Ibu, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa, dan bahasa Internasional (Inggris) untuk komunikasi antar Negara.

Berbicara bahasa, tentunya tidak terlepas dari sejarah. Bila bahasa daerah berasal dari kebudayaan etnis yang timbul dari masyarakat sekitar. Bahasa persatuan Indonesia, lahir dari kongres Pemuda. Hasilnya kemudian dinamakan dengan Putusan Pemuda, kemudian berganti nama Sumpah Pemuda pada 1931 oleh Sultan Takdir Alihsjahbana. Sumpah Pemuda dalam naskah asli, berbunyi: “Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. (versi asli). Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.(versi ejaan yang disempurnakan),” Sedangkan bahasa Internasional (bahasa Inggris) merupakan bahasa yang timbul, karena Inggris pada perang dunia II memiliki jajahan paling luas di dunia.

Lalu bagaimana dengan penerimaan masyarakat, mengenai bahasa yang berbunyi “Berbahasa Satu Bahasa Indonesia” dalam Sumpah Pemuda? Mustakim (Kepala Bidang Pembinaan Bahasa dan Sastra, Pusat Bahasa Depdiknas) mengutarakan bagaimana kata tersebut dimasukkan dalam mata pelajaran, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang salah. Multamia (Fakultas Ilmu Budaya – Indonesia), TD. Asmadi (pemerhati bahasa di media massa) pun menyatakan ada proses sosialisasi Sumpah Pemuda yang berkembang di masyarakat.

Sosialisasi dan isi yang berubah dalam masyarakat, menyebabkan bahasa daerah menjadi tidak diakui. Bahasa di Indonesia, hanya ada bahasa Indonesia tanpa bahasa daerah. Walaupun dalam isi sebenarnya keberadaan bahasa daerah diakui keberadaanya dan perlu dilestarikan sebagai budaya. Bahasa Indonesia pun diputuskan sebagai bahasa pengantar pendidikan dari TK sampai Perguruan Tinggi. Maka, salah satu fungsi bahasa daerah menjadi hilang, terutama dalam pendidikan.

Kebijakan tersebut membuat semua anak Indonesia, harus bisa bahasa nasional. Sebagai bahasa untuk sekolah. Bila tidak bisa berbahasa Indonesia, maka tidak akan mempunyai kesempatan apapun dalam tataran nasional. Itu menjadi konsekuensinya. “Di satu sisi kita punya keinginan untuk melestarikan, menjaga kesinambungan eksistensi bahasa daerah, tetapi di sisi lain kita mengambil keputusan yang merebut posisi bahasa daerah,” tutur Multamia. Walaupun demikian peran bahasa, baru saja telah diatur dengan UU No.24 tahun 2009.

Bahasa Daerah, “Bahasa Prasasti”

Indonesia merupakan salah satu Negara, yang memiliki bahasa Ibu terbesar di dunia (12,36 persen). Bahkan bahasa jawa, masuk dalam dua puluh besar bahasa dunia. Dari data yang berkembang di masyarakat, ada lebih 742 bahasa di Indonesia. Parahnya kondisi bahasa di beberapa daerah tidak sebanding dengan jumlah penutur yang ada, dan ratusan bahasa terancam punah karena jumlah penutur yang kurang dari satu juta orang.

Pengklasifikasian bahasa pun dibedakan berdasarkan kondisi penuturnya, menjadi: potentially endangered languages (berpotensial punah, karena kencederungan anak muda sudah mulai tidak menggunakan bahasa ibu/daerah), endangered languages (tidak ada anak muda yang bisa berbahasa daerah. Hanya orang yang sudah tua yang menggunakan bahasa tersebut), seriously endangered languages (kondisi ini adalah dengan jumlah penutur berumur 60 tahun keatas, moribound languages (kondisi dengan jumlah penutur diatas usia 70 tahun, dan hanya digunakan kelompoknya), extinct languages (jumlah penutur hanya satu orang). (menurut Multamia).
Sedangkan menurut Mustakim, pengklasifikasian dibedakan menjadi; bahasa potensial yang jumlahnya diatas satu juta penutur. Menengah, sifatnya dalam kondisi berbahaya. Terakhir, kondisi bahasa daerah yang terancam punah.

Kesepakatan bahasa Indonesia sebagai bahasa pendidikan, oleh pemerintah tidak dapat disalahkan. Keberadaan tersebut dikarenakan Indonesia memiliki luas wilayah dan penduduk yang banyak. Sehingga dengan keberadaan bahasa yang banyak, tentunya tidak mungkin dimasukkan dalam pendidikan. Berapa pembiayaan yang dibutuhkan untuk menyediakan sekolah, buku pelajaran,dan guru untuk bahasa daerah, dengan jumlah penutur pun beragam.

Kondisi jumlah penutur dan bahasa yang tidak seimbang, mengakibatkan yang digunakan dalam pembelajaran hanya daerah dengan jumlah penutur diatas satu juta. Sebut saja Jawa, Sunda dan Bali. Bagaimana dengan bahasa lain? “ … Sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas dan diperkuat oleh UU No. 24 tahun 2009. ‘Bahasa daerah dapat digunakan sebagai pengantar dalam tahap awal pendidikan’,”tutur Mustakim. Tersirat tanggung jawab dan emban dalam menjaga bahasa daerah, salah satunya terdapat di pendidikan. Lalu bagaimana dengan sekolah yang berada di perbatasan? Mustakim mengutarakan sekolah harus mengembangkan bahasa di mana posisinya berada. Hal tersebut juga sebagai bentuk tanggung jawab dalam pemeliharaan budaya.
Pemerintah daerah juga berkewajiban menjaga bahasa. Termasuk menentukan bahasa daerah mayoritas, untuk dijadikan muatan lokal dalam pendidikan. Akhirnya anak Indonesia, akan memiliki karakter dan kaya akan budaya.

Usaha untuk memasukkan bahasa daerah pun dilakukan Pusat Bahasa, dengan memasukkan istilah daerah dalam Kamus Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Selain itu diutarakan oleh TD. Asmadi, beberapa media juga berusaha mengenalkan bahasa daerah dalam terbitannya. Namun, usaha pengenalan bahasa yang paling utama, adalah keluarga dan sekolah.
Sejauh apa niat diri kita, keluarga dan sekolah dalam memajukan bahasa daerah? Semua akan kembali pada masing-masing individu dan kelompok. Selamat berproses…!!! (Agustinus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar